Pemberiankita harus dengan sukacita (2Kor 9:7). Baik contoh orang Israel pada zaman PL (Kel 35:21-29; 2Taw 24:10) maupun orang Kristen Makedonia dalam PB (2Kor 8:1-5) patut dituruti. 7) Allah telah berjanji untuk memberikan pahala kepada kita sepadan dengan bagaimana kita memberi kepada-Nya (lih. Ul 15:4; Mal 3:10-12; Mat 19:21; 1Tim 6:18-19

- Kisah tentang kehidupan Yesus hingga kini makin menarik untuk diungkap. Berbagai upaya pengalian bukti sejarahnya terus dilakukan. Banyak fakta-fakta mencengangkan dan sejalan dengan Alkitab yang ditemukan para Arkeolog. Lewat penggalian bertahun-tahun, arkeolog percaya bahwa mereka telah menemukan rumah yang diduga kuat merupakan tempat tinggal Yesus pada masa kecilnya dahulu. Rumah itu berbahan batu kapur, dibuat dengan memotong batu dari sebuah bukit, terdiri dari beberapa ruangan. Satu lorong yang berfungsi sebagai pintu hingga kini masih terawetkan. Rumah terdiri dari sejumlah ruangan. Ada pula tangga. Di dekat rumah terdapat dua batu itu sebenarnya sudah ditemukan pertama kali tahun 1880-an oleh seorang biarawati dari Kesusteran Nazareth. Namun, baru pada tahun 2006, arkeolog dari University of Reading di Inggris, Ken Dark, mengidentifikasi rumah itu berasal dari masa Yesus. "Apakah ini merupakan rumah tempat Yesus tumbuh besar, sulit untuk mengatakannya berdasarkan bukti arkeologis. Namun, di sisi lain, tak ada bukti arkeologis yang cukup kuat juga sehingga pandangan macam itu bisa diabaikan," tulis Dark di Biblical Arcaeology Review edisi Maret/April 2015 seperti dikutip Livescience, Senin 2/3/2015. Ada beberapa hal yang membuat rumah tersebut diduga merupakan milik Yesus. Di dalam reruntuhan, terdapat bejana berbahan batu kapur. Hal itu menjadi petunjuk bahwa rumah itu milik keluarga Yahudi. Keluarga Yesus juga seorang Yahudi sehingga ada kemungkinan rumah itu miliknya. Petunjuk lain, menurut penelitian, seabad setelah Yesus wafat, Kerajaan Byzantine yang menguasai Nazareth hingga abad ketujuh mendekorasi rumah tersebut dan mengembangkannya menjadi gereja. Halitu perlu karena warta Kerajaan Allah yang diperjuangkan oleh Yesus tidak dapat lepas dari situasi-situaai yang terjadi dan melingkupi kehidupan bangsa Israel. 1) Keadaan Geografis Pada abad pertama masehi "tanah Israel" secara resmi disebut Yudea. Akan tetapi sesudah perang Yahudi tahun 135 disebut "Siria-Palestina", lalu menjadi "Palestina". KEBETULAN Paskah tahun ini berlangsung setelah hajatan Pemilu 17 April 2019. Kiranya menarik dan relevan jika kita berbicara tentang Yesus dan politik. Cukup banyak buku tentang Yesus dan politik, apalagi dalam bahasa asing. Cukup representatif dalam bahasa asing, seperti bahasa Jerman ialah Christlicher Glaube und politische Vernunft, karya Herwig Buechele Wien-Zurich-Duesseeledorf, 1987 atau bahasa Inggris karya Jim Wallis berjudul The Great Awakening Reviving Faith & Politics in A Post-Religious Right America New York HarperCollins, 2008. Yesus tidak berpolitik praktis Umumnya memang ada benang merah yang memunculkan kesamaan dari berbagai buku tentang Yesus dan politik. Rata-rata semua punya pemahaman senada bahwa Yesus itu bukan politikus. Meski demikian, Yesus harus hidup dalam sikon yang kental dengan nuansa politis. Bahkan, Yesus pernah diharapkan masyarakat Yahudi 2000 tahun silam sebagai tokoh politik yang akan membebaskan Israel dari penjajahan Romawi. Itu terjadi pada Minggu Palma, lima hari sebelum penyaliban-Nya pada Jumat, ketika Yesus dielu-elukan orang banyak saat dia memasuki kota Jerusalem. Orang-orang Yahudi memang sudah sejak lama punya harapan akan datangnya Mesias sang Pembebas. Orang-orang yang mengelu-elukan Yesus itu punya harapan mesianik bahwa Yesuslah sang Mesias itu. Namun, betapa kecewanya orang-orang itu karena Yesus menolak untuk dijadikan raja atau tokoh yang sesuai dengan harapan mereka. Yesus ternyata tidak mau berpolitik praktis. Dengan demikian, Yesus jelas bukan sosok politikus atau bermain dalam tataran politik praktis. Ketika dibawa kepada Gubernur Pontius Pilatus, saat ditanya wakil pemerintah Romawi, “Apakah Engkau seorang raja?”, Yesus menjawab bahwa kerajaan-Nya tidak berasal dari dunia ini. Meski demikian, dunia tempat Yesus hidup ketika itu sudah menyeret-Nya ke dalam permasalahan politik. Bahkan oleh para ahli agama Yahudi yang tidak suka dengan sepak terjang Yesus yang selalu memihak orang kecil, disebarkan tuduhan atau fitnah bernada politis bahwa Yesus punya agenda memberontak melawan pemerintah Romawi. Ajaran-ajarannya yang memuji orang miskin dan teraniaya, Yesus dituduh sebagai provokator. Tuduhan itu membawa konsekuensi berat. Sampai akhirnya Yesus dihukum mati lewat digantung disalib, sebuah hukuman ala Romawi yang biasanya dilakukan untuk para kriminal. Ketika Yesus mati disalib, sebagian pengikut Yesus yang sejak semula mengelus-elus-Nya sebagai Mesias atau tokoh politik yang membebaskan langsung terpuruk dalam rasa putus asa yang besar. Yesus dianggap telah gagal dan keok oleh hukuman salib, sebagaimana ditulis sejarawan sekuler, Tacitus. Politik etis Meski tidak mendirikan partai politik atau menjadi politikus dari aliran tertentu, Yesus sebenarnya berpolitik juga, yakni politik etis. Dengan kata lain, lewat ajaran-ajaran-Nya seperti bisa kita baca dalam Injil, Yesus ialah inspirator bagi gerakan moral untuk memperjuangkan kaum lemah yang kala itu amat menderita. Politik Yesus ialah politik memihak kaum lemah. Dalam buku A Marginal Jew Rethinking the Historical Jesus The Roots of the Problem and the Person oleh John P Meier, kita bisa melihat betapa selama hidupnya, Yesus terlibat dan menyatu dengan kaum miskin. Dari kandang Betlehem hingga puncak Kalvari ialah saksinya. Orang buta, pelacur, pengemis, hingga penyamun ialah sosok-sosok miskin yang akrab dengan Yesus. Yesus bukan politikus yang suka menjual isu orang miskin, melainkan benar-benar solider dengan kaum miskin. Bahkan di awal karya-Nya, kata pujian pertama yang keluar dari mulut-Nya ialah berbahagialah orang-orang miskin’ Matius 52. Tidak sekadar memuji kaum miskin, Yesus juga lantang mengecam kolusi antara pejabat agama dan penguasa yang berpusat di Bait Allah di Jerusalem. Bait Allah pada waktu itu menjadi tempat atau kantor Imam Besar eksekutif, kantor Sanhedrin legislatif, pusat peradilan yudikatif sekaligus tempat bagi Bank Sentral. Yesus marah Bait Allah telah dijadikan sarang para maling atau penyamun’. Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari halaman Bait Allah. Dia berani menyerang jantung kekuasaan yang ada waktu itu. Dengan demikian, Yesus ialah pejuang bagi tegaknya politik etis atau politik moral yang berani mengkritik persekongkolan antara pejabat agama dan birokrat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan di atas penderitaan orang-orang lemah. Semua itu akhirnya membawa konsekuensi, Yesus dihukum mati lewat tiang salib. Sayangnya, dalam perjalanan sejarah kekristenan selama 2000 tahun, kolusi antara pejabat agama dan penguasa yang dulu dikecam Yesus, justru sering dilakukan sendiri oleh mereka yang mengklaim mengikuti ajaran Yesus. Malah ironis, kadang nama Yesus diperalat sebagai tunggangan politik untuk meneror, bahkan membunuh, seperti ditulis dalam buku Jesus Before Chritianity, buah karya pastor Albert Nolan OP dari Afrika Selatan. Kezaliman kapitalisme yang justru marak dipraktikkan di negara-negara maju dan notabene mayoritas warganya Kristen, bahkan di negara-negara maju masih ada parpol berlabel Kristen hingga sekarang, justru sering terjadi praktik tak terpuji, martabat luhur manusia dijadikan komoditas belaka. Karena itu, bagi para politikus Kristiani yang menang pemilu legislatif dan lolos ke Senayan, perjuangkan kaum lemah seperti sudah dilakukan Yesus. Jadikan sejarah sebagai pelajaran, ketika agamawan atau politisi berbendera agama mengambil alih kekuasaan negara dalam pemerintahan teokrasi, justru banyak bencana kemanusiaan sebagaimana terjadi di era Yesus. Gereja di Eropa pernah terjebak dalam hal ini sehingga perang dan penindasan atas orang-orang yang tak sealiran seagama pernah menjadi noda hitam dalam sejarah gereja. Bayangkan perang agama antara katolik melawan protestan pascareformasi Martin Luther menyebabkan jutaan orang mati sia-sia. Maka dari itu, mari berjuang bersama Yesus memperjuangkan politik moral, berupa politik kenabian. Kita harus menjauhi politik partisan yang tidak lain ialah politisasi agama yang menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik, meski hal demikian baru saja terjadi dalam pemilu di negeri ini. Jadi, bagi politisi kristiani yang sungguh berhasil mendapatkan kursi kekuasaan, berusahalah agar dalam 5 tahun mendatang jangan sampai menyalibkan Yesus untuk kedua kalinya lewat praksis politik tak terpuji. Deboradalam bahasa Ibrani berarti "lebah". Setidaknya ada dua nama Debora yang ditemukan dalam Alkitab. Yang pertama, dia adalah seorang inang pengasuh bagi Ribkah, yang akhir dari pada hidupnya diceritakan dalam Kej. 35: 8, "Ketika Debora, inang pengasuh Ribka, mati, dikuburkanlah ia di sebelah hilir Betel di bawah pohon besar, yang dinamai orang: "Pohon Besar Penangisan" yaitu Foto HAZEM BADER/AFPKesalahpahaman akibat ketidakpahaman ini kemudian menimbulkan sejumlah stigma negatif, persepsi buruk, dan penilaian yang tidak akurat atas negara Israel maupun bangsa Yahudi, sama tidak akuratnya terhadap penilaian atas negara-negara Arab dan bangsa Arab. Kesalahpahaman pertama adalah menganggap bahwa pendudukIsrael itu semua bangsa Yahudi. Padahal faktanya tidak. Menurut data dari Israel Central Bureau of Statistics, ada hampir 9 juta warga Israel. Meskipun warga Yahudi adalah mayoritas di negara Israel sekitar 70% yang membuat negara ini menjadi satu-satunya negara di dunia yang berpenduduk mayoritas Yahudi, tetapi ada sejumlah suku-bangsa lain yang mendiami kawasan al QurtubyFoto S. al Qurtuby Misalnya, tercatat ada lebih dari 20% warga Israel adalah Arab, termasuk masyarakat Arab Yerusalem Timur dan komunitas Arab Badui Naqab. Badui Naqab Negev Bedouins adalah masyarakat Arab Badui pastoral-nomadik yang dalam sejarahnya mengikuti pola hidup berpindah-pindah sampai kelak di zaman Turki Usmani di abad ke-19, kelompok ini mengalami proses "sedentarisasi” dan tinggal menetap di kawasan Naqab Negev, Israel. Konon ada sekitar 200 ribuan komunitas Arab Badui Naqab ini dan mayoritas mengikuti tradisi Islam Sunni sama seperti mayoritas masyarakat Arab lain di Israel. Kelompok lain yang cukup besar di Israel adalah Druze hampir 2%, kemudian disusul suku-bangsa Aram, Armenia, Assyria, Circassia, Samarita, dan Maronite. Data penduduk ini belum termasuk para "imigran gelap” dari sejumlah negara di Afrika. Jadi, seperti laiknya negara pada umumnya, penduduk Israel juga sangat warga Yahudi, warga Israel non-Yahudi khususnya Arab dan Druze juga menduduki berbagai posisi baik di pemerintahan, parlemen, keamanan tentara/polisi, bisnis, dan berbagai sektor publik lain. Oleh karena itu, setiap kali Israel terlibat konflik dan perseteruan dengan Palestina, bukan hanya Yahudi saja yang terlibat kekerasan ini tetapi juga Druze dan Arab Israel. Kesalahpahaman berikutnya adalah menganggap Yahudi adalah satu-satunya agama di Israel. Kekeliruan ini karena dibangun dari asumsi yang keliru, yakni anggapan bahwa semua warga Israel adalah Yahudi. Karena suku-bangsa Israel sangat beragam, maka otomatis agama pun sangat beragam. Yudaisme agama Yahudi tentu saja menempati posisi mayoritas di sini, tetapi Islam juga cukup kuat sekitar 18%, kemudian disusul Kristen 2%, Druzeisme 1,6% dan lainnya, termasuk Hindu dan Buddha. Komunitas Baha'i juga cukup banyak di Israel. Bahkan Universal House of Justice Bait al-Adl A'dham, sebuah "lembaga legislatif” yang konon terdiri atas sembilan tokoh agama Baha'i dan memegang otoritas tertinggi yang mengatur seluruh komunitas Baha'i di dunia, terletak di Haifa, Israel. Di Israel pula terletak makam Sayyid Ali Muhammad Syirazi populer dengan sebutan Bab, pendiri Babisme dan salah satu tokoh utama komunitas Baha'i dan Azali. Keliru menilai Bukan hanya tentang Israel, banyak orang juga keliru menilai bangsa Yahudi itu sendiri. Hampir bisa dipastikan kalau mayoritas publik menganggap "orang Yahudi memeluk agama Yahudi”. Padahal, faktanya tidak demikian. Sebagai sebuah suku-bangsa, seperti umumnya suku-bangsa lain di dunia ini, Yahudi juga sangat beragam dalam mengekspresikan keagamaan dan spiritualitas. Jelasnya, tidak semua orang Yahudi itu beragama atau memeluk "agama Yahudi” atau Yudaisme Judaism. Banyak orang Yahudi yang memeluk agama non-Yudaisme atau bahkan tidak beragama menjadi pengikut sekularisme, agnotisisme, atau scientology. Banyak orang Yahudi yang memilih beragama Kristen dari berbagai denominasi. Bahkan ada pula yang memeluk agama Islam yang populer dengan sebutan "Jews for Allah” dan membaca Al-Qur'an dalam Bahasa Ibrani. Kekeliruan berikutnya atas bangsa Yahudi adalah menganggap Yahudi sebagai komunitas yang monolitik dan seragam. Padahal, faktanya jelas tidak demikian. Menurut data dari Berman Jewish DataBank, ada sekitar 14 juta jiwa umat Yahudi di-seantero jagat raya. Dari jumlah ini, sekitar 44% tinggal di Israel, 40% di Amerika Serikat, dan sisanya tersebar di berbagai negara. Di Indonesia dulu terdapat ratusan umat Yahudi hingga mereka mampu membuat sinagog di Surabaya dan Manado. Tapi kini hanya tinggal segelintir saja. Itu pun pada umumnya mereka tidak berani mengidentifikasi diri ke-Yahudi-an mereka di hadapan publik. Ada sejumlah kelompok Yahudi yang masing-masing memiliki ekspresi ritual-keagamaan, keberagamaan, kebudayaan, dan bahkan sosial-kepolitikan yang unik, khas, dan berlainan. Bahkan ada sejumlah kelompok Yahudi seperti sekte Heredi yang mempraktikkan keberagamaan seperti kelompok Muslim Arab konservatif dengan mengenakan abaya dan cadar burqa/niqab bagi kaum perempuannya. Sebut saja Yahudi Mizrahi Mizrahim atau al-Masyriqiyyun atau "Yahudi Oriental”, yakni kelompok Yahudi yang nenek-moyangnya dari Timur Tengah. Banyak dari mereka yang menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi. Kemudian Yahudi Ashkenazi Ashkenazim, yaitu kelompok Yahudi diaspora sejak milenia pertama di zaman Imperium Roma. Mereka umumnya menggunakan Bahasa Yiddish Bagian dari Bahasa Jerman yang mengadopsi beeberapa dialek. Bahasa Ibrani hanya digunakan untuk acara-acara ritual keagamaan sebagai "bahasa suci”. Kemudian Yahudi Sephardi Sephardim yang asal-usulnya dari Semenanjung Iberia, khususnya Spanyol. Lalu, Yahudi Yaman al-Yahud al-Yaman. Meskipun namanya "Yahudi Yaman” mereka bukan hanya tinggal di Yaman saja tetapi juga di Amerika dan kawasan lain di Timur Tengah. Ada pula Yahudi Ethiopia atau dikenal dengan sebutan Beta Israel yang asal-usulnya dari Kerajaan Aksum dan Imperium Ethiopia. Baca juga Bagaimana Hitler dan Nazi Menggunakan Isu Islam Untuk Politik Anti Yahudi "Kami Sebagai Yahudi Juga Mengecam Perilaku Israel" Umat Yahudi mendukung Zionisme? Kekeliruan selanjutnya adalah menganggap semua umat Yahudi mendukung Zionisme. Dengan kata lain Yahudi adalah Zionis sekaligus. Ini jelas kekeliruan yang sangat fatal. Zionisme adalah sebuah gerakan nasionalis-politik yang digerakkan oleh sejumlah tokoh Yahudi yang mendukung gagasan pendirian kembali kawasan atau negara khusus untuk masyarakat Yahudi di "Tanah Israel” yaitu Palestina. Gerakan nasionalis Yahudi di era modern muncul di akhir abad ke-19 sebagai reaksi atas gerakan anti-Semitisme di Eropa. Bahwa ada banyak kaum Yahudi yang mendukung Zionisme dan aneksasi atas Palestina memang benar. Tetapi banyak pula yang menentangnya. Kelompok Yahudi Heredi adalah salah satu kelompok Yahudi yang paling getol melawan Zionisme. Perlu juga dicatat bahwa pendukung Zionisme, seperti penentangnya, bukan hanya dari kalangan Yahudi saja. Dari paparan singkat di atas maka kita perlu bedakan mana Yahudi dan mana Zionis, mana Yahudi sebagai sebuah suku-bangsa danmana Yahudi sebagai sebuah kelompok agama, dan seterusnya. Pembacaan yang detail dan teliti atas komunitas Yahudi dan komunitas mana saja di jagat raya ini bisa meminimalisir kesalahpahaman dan ketidaktahuan yang sering kali menjadi sumber konflik, ketegangan, perpecahan, perseteruan, permusuhan, kekerasan, dan malapetaka kemanusiaan. Selanjutnya, pembacaan yang detail dan teliti atas sebuah komunitas, bisa menciptakan kesalingpahaman yang bisa menjadi jembatan membangun perdamaian dan toleransi antar-kemanusiaan. Semoga bermanfaat. Penulis Sumanto Al Qurtuby ap/hp Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia London & New York Routledge, 2016 *Setiap tulisan yang dimuat dalam DWnesia menjadi tanggung jawab penulis. VolumeIV -CD\21. SITUASI ISRAEL DI PELAYANAN YESUS -asli. An icon used to represent a menu that can be toggled by interacting with this icon.
christina2126a christina2126a Sejarah Sekolah Dasar terjawab Kak mau tanya... Mengapa nabi Yesaya disebut sebagai nabi yang penuh nubuat? Makasih... D Iklan Iklan gabriellenatalie gabriellenatalie Jawaban1. Pada saat itu bangsa Israel tidak zaman itu, terjadi kemerosotan sosial dan moral baik di Israel dan di banyak melakukan ketidak-adilan sosial dan kemunafikan rohanimereka menjual orang benar karna uang dan orang miskin karena sepasang membantu ^_^ kak, yang vers katolik ada gak? sangat² membantu Makasih banyak kak Salah Woy lu sy server ikan Iklan Iklan Pertanyaan baru di Sejarah bila ada seseorang meninggal dunia maka tak mau datang Sebutkan Siapa sahabat nabi Yang Mempercayai peristiwa Isra Mi'raj & dijuluki Sebagai "AS-SHIDDIQ"?​ Apa Hukum Sholat Malam Sebelum Rasulullah Isra Mi'raj & apa Arti ISRA MI'RAJBUKUSKI 4​ buatlah rangkuman legenda timun emas! Minta tolong yaa kakakk baikk! Jangan pelit berbagi jawaban, Arigatoo!!​ Wilayah di padang pasir yang memiliki sumber air dan dapat dipergunakan sebagai lahan pertanian disebut? Sebelumnya Berikutnya Iklan
KonflikIsrael Palestina adalah konflik antara kepentingan arab agar tetap menduduki wilayah Palestina yang pada dasarnya adalah eks wilayah Israel pada masa Yesus dan kepentingan Israel kembali ke tanah leluhurnya. Konflik Israel Palestina serupa dengan konflik pengakuan status Ishak atau Ismail, anak yang akan dikurbankan Abraham. Artikel ini ingin mengkaji faktor-faktor penyebab ketimpangan sosial ekonomi masyarakat Yahudi pada zaman Yesus melalui pendekatan sosial-ilmiah socialscientific criticism. Adapun kajian dilakukan melalui pembacaan tulisan-tulisan para teolog yang terpublikasi pada jurnal-jurnal internasional dan catatan Injil-Injil Perjanjian Baru. Berdasarkan kajian ditemukan bahwa kemiskinan di Israel adalah kemiskinan struktural yang ditandai dengan adanya distorsi politik, ekonomi, dan sosial bagi kaum miskin. Faktor-faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan di antaranya ialah kolonialisme transnasional, kolonialisme internal, kolaborasi kolonialisme transnasional-internal, perangkap subsistensi, perangkap ketidakberdayaan, perang Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free BandungJanuari-Juni 2019Januari-Juni 2019Volume 17 Nomor 1Januari-Juni 2019Volume 17Nomor 1Vol. 17No. 1Hal. 1-136PERLUNYA FONDASI TEOLOGIS UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER BERDASARKAN 'PEMBENARAN OLEH IMAN' MARTIN LUTHERCathryne B. Nainggolan & Daniel Santoso MaTINJAUAN ULANG TERHADAP “KESEMBUHAN ILAHI” PERSPEKTIF INJILITogardo SiburianSIGNIFIKANSI APOLOGETIKA DALAM PENGINJILANTumpal Hasudungan HutahaeanPEMBAURAN CAKRAWALA YANG MENTRANSFORMASI HIDUP DALAM PEMBUKAAN SURAT GALATIA 111-24 Bhanu ViktorahadiMENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI PADA ZAMAN YESUS MELALUI LENSA TEORI SOSIALEdi PurwantoPEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS KEMANUSIAANWemmy Prayogo STULOS 17/1 Januari-Juni 2019 ISSN 1858-4683 STULOS JURNAL TEOLOGI Penerbitan STULOS Jurnal Teologi dari Sekolah Tinggi Teologi Bandung adalah untuk memperkembangkan studi teologis dalam pemikiran-pemikiran kekinian yang kritis dan aktual dalam konteks melayani umat Tuhan di Indonesia. Dewan Redaksi Togardo P. Siburian, Ketua Herlise Y. Sagala, Anggota Heryanto, Anggota Desiana M. Nainggolan, Anggota Staf Redaksi Lika Yulika Ilham, SS Mitra Bebestari Prof. Dr. Bernard Adenay ICRS Yogyakarta, Dr. Robert Borrong STT Wesley, Bogor, Dr. Ivan Th. Weismann STFT Jaffray, Makasar, Dr. Binsar A. Hutabarat STRII Jakarta, Dr. Togardo Siburian STT Bandung, Dr. Tan Giok Lie, STT Bandung, Dr. Cand Hans A. Harmakaputera Boston Alamat Penerbit Jl. Dr. Junjunan 105, Bandung, 40173, Indonesia. Telp. 022-6016454, 6077920. Faks. 022-6077921. E-mail jurnalstulos Homepage Bagi yang ingin mendapatkan Stulos dapat menghubungi redaksi, dan bagi para pembaca yang ingin berpartisipasi dalam penerbitan dapat dikirim ke BCA Maranatha 282-300-5555 Yayasan STT Bandung. Bagi yang ingin berpartisipasi dalam tulisan dapat mengirimkannya ke meja redaksi sesuai dengan tema edisional dan ketentuan penulisan yang ada di halaman belakang. Tulisan-tulisan dalam jurnal ini merupakan pandangan-pandangan pribadi penulis dan tidak selalu merupakan posisi resmi STULOS Jurnal Teologi atau pandangan STT Bandung. Dewan redaksi memiliki hak penuh atas pemuatan dan penyuntingan seperlunya tanpa mengurangi maksud penulis. STULOS JURNAL TEOLOGI VOLUME 17  NOMOR 1 Januari-Juni 2019 DAFTAR ISI PERLUNYA FONDASI TEOLOGIS UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER BERDASARKAN PEMBENARAN OLEH IMAN’ MARTIN LUTHER Cathryne B. Nainggolan & Daniel Santoso Ma TINJAUAN ULANG TERHADAP “KESEMBUHAN ILAHI” Togardo Siburian SIGNIFIKANSI APOLOGETIKA DALAM PENGINJILAN Tumpal Hasudungan Hutahaean PEMBAURAN CAKRAWALA YANG MENTRANSFORMASI HIDUP DALAM PEMBUKAAN SURAT GALATIA 111-24 Bhanu Viktorahadi MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI PADA ZAMAN YESUS MELALUI LENSA TEORI SOSIAL Edi Purwanto PEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS KEMANUSIAAN Wemmy Prayogo STULOS 17/1 Januari-Juni 2019 94-119 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI PADA ZAMAN YESUS MELALUI LENSA TEORI SOSIAL Edi Purwanto Dosen Program Magister Manajemen, Universitas Bunda Mulia, Jakarta Abstrak Artikel ini ingin mengkaji faktor-faktor penyebab ketimpangan sosial ekonomi masyarakat Yahudi pada zaman Yesus melalui pendekatan sosial-ilmiah social-scientific criticism. Adapun kajian dilakukan melalui pembacaan tulisan-tulisan para teolog yang terpublikasi pada jurnal-jurnal internasional dan catatan Injil-Injil Perjanjian Baru. Berdasarkan kajian ditemukan bahwa kemiskinan di Israel adalah kemiskinan struktural yang ditandai dengan adanya distorsi politik, ekonomi, dan sosial bagi kaum miskin. Faktor-faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan di antaranya ialah kolonialisme transnasional, kolonialisme internal, kolaborasi kolonialisme transnasional-internal, perangkap subsistensi, perangkap ketidakberdayaan, perangkap resiko tinggi, perangkap perbudakan hutang, dan perangkap kriminalitas. Kata kunci ketimpangan, sosial-ekonomi, kemiskinan struktural, social-scienfitic criticism PENDAHULUAN Injil menyingkapkan, bahwa ketimpangan sosial ekonomi yang sangat nyata di antara masyarakat Yahudi. Sherwin-White menemukan bahwa dunia yang digambarkan Injil mempresentasikan adanya dua kelas sosial pada zaman itu. Pertama, kelas orang-orang yang sangat kaya adalah kelas atas yang jumlahnya sangat sedikit, tidak lebih dari 5 persen dari jumlah populasi. Bahkan ada yang memperkirakan jumlah elit perkotaan tersebut hanya sekitar 2 persen dari total penduduk. Dalam kategori ini terdiri dari para birokrat Roma, para imam aristokrat, para tuan tanah, dan para pemungut cukai yang sukses. Sisanya, sekitar 95-98 persen penduduk adalah orang-orang yang sangat miskin. Kemiskinan begitu umum dialami oleh rakyat, sehingga A. N. Sherwin-White. Roman Society and Roman Law in the New Testament. Grand Rapids Baker Pub. Group, 1992, 139, bandingkan dengan Richard L. Rohrbaugh, “The STULOS JURNAL TEOLOGI 95 Lukas menggambarkan ucapan syukur Maria, ketika Tuhan menyampaikan berita Mesias yang akan dikandungnya, demikian “melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar” Lukas 153. Para pemimpin agama Yahudi, yang merupakan kelompok elit masyarakat menilai bahwa kutukan dosalah yang menyebabkan masyarakat dalam kemiskinan. Itu adalah doktrin lama yang selalu dicekokkan oleh para pemimpin agama korup, yang mengasosiasikan kesucian dengan kesuksesan dan dosa dengan kemiskinan. Dalam hal ini, Ted K. Bradshaw menilai, doktrin agama yang menyamakan kekayaan dengan kemurahan Allah dan orang-orang yang buta, lumpuh, atau cacat, dan miskin diyakini sebagai akibat hukuman dari Tuhan bagi pendosa merupakan keyakinan ini dikonstruksi oleh para imam bersama Farisi untuk menciptakan stratifikasi sosial, ekonomi, dan keagamaan dalam masyarakat Yahudi, seperti dikatakan juga oleh Thobias A. Messakh sebagai “political purity”, yang mana, para imam, ahli Taurat dan Farisi adalah kelompok suci, sedangkan para petani, orang-orang miskin, cacat, sakit kusta adalah kelompok najis atau berdosa. Termasuk orang-orang miskin dan sakit distigmakan sebagai “pendosa” juga. Stigma yang dibuat oleh para elit Yahudi justru menunjukkan bahwa struktur sosial, ekonomi, dan politik yang tidak adil merupakan penyebab sesungguhnya dari kemiskinan rakyat. Nampaknya masuk akal jika kehadiran kolonialis Romawi dan para elit Yahudi sebagai para kapitalis lokal, diduga sebagai pemicu munculnya struktur sosial, ekonomi, dan politik yang timpang dalam masyarakat dan tidak adil bagi masyarakat proletar. Berdasarkan apa yang dipaparkan di atas, maka tujuan riset ini adalah untuk menjabarkan faktor-faktor penyebab tersebut secara analitis dan menarik implimentasi masa kekiniannya. PEMBACAAN SOSIAL PADA SITUASI DAN KONDISI ZAMAN YESUS Social Location of the Marcan Audience”, Biblical Theology Bulletin Journal of Bible and Culture, Vol, 23, Issue 3, August 1993 117. Ted K. Bradshaw, “Theories of Poverty and Anti-Poverty Programs in Community Development, Community Development, Vol. 38, Issue, Dec. 2007 12. Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila. Salatiga Satya Wacana Univeristy Press, 2007, 200. 96 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI 1. Pendekatan Social-scientific Criticism Apakah metode kajian sosial-ilmiah social-scientific criticism pada Alkitab itu? Mark Sneed, profesor biblika pada Lubbock Christian University, Texas, menjelaskan bahwa pendekatan sosial-ilmiah terhadap Alkitab telah menjadi andalan di antara tipe-tipe studi biblical pendekatan sosial-ilmiah ini sejak dari tahun 1970-an disebabkan oleh karena status tidak menguntungkan dari pendekatan kritik historis historical critical approach, karena secara ilmiah berorientasi dan memperlakukan Alkitab tidak ada bedanya dengan karya sastra lainnya dan menolak hal-hal supranatural di dalamnya serta mempertanyakan kesejarahan tulisan dalam Alkitab. Misalnya, pendekatan kritik historis menghasilkan pandangan bahwa bukan Musa yang menulis kitab Pentateukh, namun kitab ini merupakan kumpulan dari sumber-sumber yang kemudian disatukan oleh seorang H. Elliott, seorang professor Perjanjian Baru pada fakultas Teologi University of Pretoria, mengatakan bahwa pendekatan social-scientific criticism SSC merupakan salah satu subdisiplin dari eksegesis, yaitu pendekatannya menggunakan teori sosial-ilmiah untuk memahami konteks geografis, historis, ekonomi, sosial, politik dan budaya dan keagamaan pada zaman Alkitab. Alat-alat analisis yang dipergunakan untuk penyelidikan ini menggunakan kajian ilmu sosial, khususnya sosiologi dan antropologi budaya. Perlunya pendekatan ilmu sosial dalam eksegesis ini dikarenakan setiap tulisan dari Alkitab menggambarkan peristiwa-peristiwa yang bersifat sosial mengenai hubungan-hubungan, struktur-struktur, institusi-institusi, peran-peran status dan berbagai drama dari kehidupan sehari-hari. Apalagi setiap tulisan dari Alkitab tidak semata-mata merupakan suatu komposisi sastra, namun juga merupakan produk kehidupan sosial. Penulisan kitab-kitab tersebut juga memiliki tujuan sebagai alat komunikasi dan interaksi sosial Mark Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible”, Religion Compass Vol. 2, No. 3, April 2008 287. Ibid., 287-288. STULOS JURNAL TEOLOGI 97 untuk mendorong aksi sosial dari para pembacanya; oleh sebab itu, eksegesis membutuhkan dimensi sosial ilmiah Sneed memberikan beberapa karakteristik dari pendekatan ilmiah sosiologi untuk memahami masyarakat pada zaman Alkitab seperti berikut ini pertama, comparative methodology adalah metode sosial-ilmiah ini, secara sosiologis membandingkan masyarakat modern dengan masyarakat Israel zaman Alkitab atau secara antropologis membandingkan masyarakat Israel pada zaman Alkitab dengan masyarakat non-industrial sekarang,seperti pendekatan yang dilakukan oleh Thomas Overholt. Kedua, interdisciplinary methodology adalah metode sosial-ilmiah interdisipliner yang melibatkan penggabung dua bidang ilmu ilmu sosial dan studi biblika. Kombinasi ini merepresentasikan dua kemungkinan 1 seorang ilmuwan sosial yang berkonsultasi pada studi biblika dan berusaha untuk menjelaskan perilaku sosial dengan melalui teropong teks biblika atau, 2 sebaliknya seorang ahli studi biblika yang berkonsultasi dengan ilmu sosial untuk memamahi beberapa aspek dari Alkitab. Max Weber adalah contoh ilmuwan sosial yang mencoba menganalisis teks Alkitab untuk menjelaskan fenomena sosial dan menghasilkan karya Ancient Judaism. Sedangkan Abraham Malamat adalah contoh seorang sarjana biblika yang menggunakan ilmu sosial untuk menjelaskan fenomena dalam teks biblika.”Mark Sneed mengatakan bahwa ada tiga dasar pendekatan sosiologi biblika tipe pertama, berfokus pada aspek-aspek sosial dari sebuah teks atau masyarakat, misalnya kelas sosial, gender, etnisitas dll, tanpa John H. Elliott, “Social-scientific criticism Perspective, process and payoff. Evil eye accusation at Galatia as illustration of the method”, HTS Teologiese Studies/Theological Studies, Vol. 67, No. 1, June 2011, 1. Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible” 288. Thomas Overholt, “Prophecy The Problem of Cross-Cultural Comparison”, Community, Identity, and Ideology Social Science Approaches to the Hebrew Bible, C. E. Carter and C. L. Meyers eds. Winona Lake Eisenbrauns, 1996, 423-447. Mark Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible,” Religion Compass, 289; Max Weber, Ancient Judaism, HH Gerth and D Martindale trans., Free, New York, NY, 1952. Ibid., Lih juga Abraham Malamat, Charismatic Leadership in the Book Judges’, Community, Identity, and Ideology Social Science Approaches to the Hebrew Bible, CE Carter and CL Meyers, eds., Winona Lake Eisenbrauns 1999, 293-310. Sneed, “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible”, 289-290. 98 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI menggunakan teori sosial atau alat-alat analisis sosial-ilmiah kedua dari pendekatan ini melibatkan penggunaan alat analisis yang telah mapan dan diakui atau suatu konsep untuk menyelidiki teks ketiga melibatkan karya seorang teoretisi tertentu yang menggunakan gagasan doxa kepercayaan untuk mempertanyakan cara mendefinisikan ideologi. Karena tujuan pendekatan sosial-ilmiah ini adalah meneropong realita sosial, ekonomi dan politik pada zaman Alkitab, maka pembaca tidak harus membuat kesimpulan bahwa pendekatan ini akan menghilangkan makna rohani atau teologis dari Alkitab yang adalah Firman Tuhan yang diinspirasikan Tuhan dan tanpa salah. Sebagaimana salah satu prinsip hermeneutika menyarankan penafsir untuk memperhatikan konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik yang melatarbelakangi teks yang ditafsirkan, maka tujuan pendekatan sosial-ilmiah ini adalah untuk mengeksplorasi konteks historis, budaya, sosial, ekonomi dan politik melalui lensa teori sosial modern. 2. Melihat Struktur Politik, Sosial dan Ekonomi di Bawah Romawi Masyarakat Yahudi pada zaman Yesus sedang berada di bawah kolonialisasi Romawi melalui kepanjangan tangan kekuasannya para jendral atau petinggi Romawi yang diangkat sebagai wali negeri dan kedua, adalah raja-raja wilayah, mulai Herodes Agung dan putra-putranya setelah kerajaan terbagi. Obery M Hendricks menyimpulkan bahwa dominasi kekuasaan penjajah Romawi terefleksi dalam catatan Injil-injil. Lukas memulai catatannya bahwa Yesus dilahirkan pada saat pemerintahan Kaisar Agustus. Ia Michael V. Fox pernah menggunakan pendekatan ini dalam “The Social Location of the Book of Proverbs”, Text, Temples, and Traditions A Tribute to Menahem Haran, MV Fox, VA Hurowitz, A Hurvitz, ML Klein, BJ Schwarz and N Shupak, eds. Winona Lake Eisenbrauns, 1996, 227–39. Lihat Mark Sneed sendiri pernah menggunakan pendekatan ketika mendiskusikan lokasi social Amsal, “The Class Culture of Proverbs Eliminating Stereotypes” Scandinavian Journal of the Old Testament, Vol. 10, Issue 2 July 1996 296–308. Jacques Berlinerblau, The Vow and the Popular Religious Groups’ of Ancient Israel A Philological and Sociological Inquiry Sheffield Sheffield Academic Press, 1996. Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted. Doubleday, New York, Three Leaves Press, 2006, 54-55. STULOS JURNAL TEOLOGI 99 memerintahkan seluruh warga Israel untuk kembali ke kampungnya masing-masing untuk didata atau disensus Lukas 21 sebagai dasar wajib pajak. Ajaran Yesus tentang mengalah atau berdamai dengan lawan Matius 525, yang mengacu pada hakim dan penjara Roma. Markus menjelaskan prajurit Romawi memaksa Simon orang Kirene untuk memikul salib Yesus ke Kalvari Markus 1521, adalah contoh tindakan semena-mena dari para prajurit Roma terhadap rakyat Yahudi. Kemudian mencatat Yesus mengusir roh jahat dari orang Gerasa dan roh jahat itu menyebut diri mereka “Legion” Markus 59 adalah istilah yang mengacu pada satu batalion militer Romawi. Romawi melakukan tindakan-tindakan represif dan eksploitatif terhadap bangsa yang dikolonialisasinya. Pemerintah Romawi merampas tanah yang seharusnya dimanfaatkan untuk pertanian rakyat lalu dibagikan kepada para penguasa, militer dan pegawai lokalnya, dan juga untuk membiayai kepentingan pemerintahan lokal. Namun itu bukan satu-satunya bentuk tindakan represifnya, sistem pajak Romawi merupakan bentuk tindakan eksploitatif yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat harus membayar pajak kepada Roma dan pajak kepada Herodes sebagai kepanjangan tangan penguasa Romawi, sehingga tidak mungkin bagi rakyat memiliki sisa hasil pertanian untuk rencana jangka miskin yang hanya menggantungkan hidup mereka pada hasil pertanian subsisten di mana kebanyakan tanah telah dirampas oleh pemerintah kolonial, ditambah beban pajak yang tinggi dari hasil pertanian subsistennya. Sehingga tepat sekali apa yang dikatakan oleh seorang sarjana Yahudi, Salo Wittmayer Baron, “struktur perpajakan Roma yang diterapkan di Israel pada abad pertama sesungguhnya yang menjadi penyebab utama kemiskinan.”Pertanyaan orang-orang Farisi kepada Yesus tentang masalah bolehkah membayar pajak kepada Kaisar menunjukkan bahwa pajak adalah isu penting pada zaman itu Matius 2217. Penilaian Baron, Roma memunggut pajak sampai seperempat hasil panen setiap tahun, apalagi setelah Israel berada Lih. dalam Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila. Salatiga Satya Wacana Univeristy Press, 2007, 198. Hendricks, The Politics of Jesus., 61-2. Salo Wittmayer Baron. A Social and Religious History of the Jews. New York Columbia University Press, 1952, 279-280. 100 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI langsung di bawah kekuasaan Roma, masih banyak pungutan lain untuk kebutuhan para pejabat dan tentara gubernur atau wali negeri Roma memandang wilayah-wilayah kekuasaannya sebagai sapi perah mereka. Pada zaman Yesus, Israel berada di bawah pemerintahan Valerius Gratus memerintah dari tahun 15-26 M dan Pontius Pilatus 26-36 M yang menarik upeti dari setiap rakyat. Selain pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah sekular, rakyat juga harus membayar pajak Bait Allah, persepuluhan dan bentuk-bentuk persembahan lainnya. Bahkan menurut Baron diperkirakan total gabungan dari pajak sekuler ditambah dengan berbagai pungutan keagamaan bisa mencapai 40 persen dari hasil pertanian subsisten tersebut dibayarkan dalam tiga bentuk uang, persentasi dari hasil panen atau ternak, atau kerja paksa. Selain pajak dari hasil panen, pemerintah Herodes juga mengenakan “pajak kepala,” dimana setiap laki-laki berusia empat belas tahun ke atas dan setiap wanita berusia di atas dua belas tahun dikenai pajak satu dinar sekitar upah harian buruh.Pajak tersebut juga dibicarakan antara Yesus dengan orang-orang Farisi dalam Markus 1217. Selain pajak langsung, Roma juga menarik berbagai pajak tidak langsung, seperti pajak jalan dan bea pelabuhan. Militer Roma juga memiliki hak legal untuk memaksa rakyat mengangkut barang-barang bawaannya hingga satu mil sebagaimana terefleksi dalam pernyataan Yesus dalam Matius 541. Selain militer dan para pejabat Roma, Romawi juga memiliki perwakilan pemerintahan di bawah raja wilayah yang ditunjuk oleh Roma. Dinasti Herodes adalah raja yang berkuasa di Israel sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah Romawi. Dengan demikian, pemerintahan herodes juga dapat dimasukkan dalam kelompok kolonialis transnasional. Herodes Agung sendiri bukanlah seorang Yahudi. Herodes adalah seorang Idumea Ibid, 279-280. Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus., 64. Lih Gary Dreier yang berpendapat bahwa sensus dalam Lukas 21 diadakan untuk mendaftar setiap anggota keluarga untuk tujuan pajak tersebut, dalam “The Political and Religious Structure in Jesus’ Time,” Living in Christ Series Winona Saint Mary’s Press, 2010, 4-5. STULOS JURNAL TEOLOGI 101 yang kemudian berkuasa menjadi raja atas bangsa Yahudi sebagai kepanjangan tangan pemerintah Romawi. Di bawah pemerintahan Herodes Agung rakyat dengan sangat kejam dituntut untuk membayar pajak yang sangat membebani, demi kepentingan dirinya, ia bersikap dan bertindak sangat kejam terhadap rakyat. Menurut Yosefus motif dasar dari karakter Herodes Agung adalah ambisinya yang tidak pernah terpuaskan dan gaya hidup mewahnya. Semua pengeluarannya dibebankan pada pajak dan bahkan perampasan hak milik rakyat. Kemudian putranya, Herodes Arkelaus memerintah Judea Edom dan Samaria, dengan sama kejamnya dengan ayahnya; selama sepuluh tahun pemerintahannya, berlaku tidak bermoral, lalim, mengumbar nafsu, dan sekehendak hati mengganti imam besar. Semua perbuatannya mengundang kebencian dan protes dari orang Yahudi dan menyebabkan sering terjadi kerusuhan. Herodes Antipas yang memerintah wilayah Galilea dan Perea juga sama kejamnya, yang membangun kota Tiberias sebagai pusat pemerintahannya untuk mencari muka kepada Kaisar Tiberius dan yang menggambil istri dari saudara tirinya, istri Filipus yang tinggal di Roma, yang bernama Herodias. Yohanes Pembaptis pernah menegurnya dan dipenjarakan serta dipenggal kepalanya Matius 143-13. Yesus menyebutnya si serigala itu’ Lukas 1331-32. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Yahudi di wilayah Galilea menderita sebagai akibat berbagai kebijakan eksploitatif yang kejam, misalnya para nelayan tidak dapat menangkap ikan sekehendak hatinya, namun mereka harus memiliki ijin kontrak dari para pemunggut cukai yang ditunjuk oleh Raja. Pemungut cukai biasanya meminjamkan uang untuk menyewakan perahu dan jala pada nelayan,sehingga nelayan harus berbagi hasil Politik, Sosial dan Ekonomi Para Imam & Farisi Joachim Jeremias, Jerusalem in the Time of Jesus An Investigation into Economic and Social Conditions during the New Testament Period. Philadelphia Fortress, 1969, 125. Ibid., 157-158. Dikutip oleh K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”, Biblical Theology Bulletin, 27 August 1997100. 102 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI Pemerintah Romawi di Israel yang diwakili oleh wali negeri atau pun Raja Herodes memanfaatkan para kapitalis lokal dengan tujuan untuk dapat mengumpulkan berbagai macam pajak atas bangsanya sendiri atas nama Romawi. Para kapitalis lokal tersebut di antaranya adalah para keluarga pemungut cukai dan para pemuka agama. Romawi membutuhkan para pemungut cukai untuk menarik pajak dan membutuhkan para pemuka agama untuk menstabilkan pemerintahan. Dan karena para pemuka agama juga harus memberikan upeti untuk mempertahankan hubungan patronase tersebut, maka juga melakukan tindakan-tindakan eksploitatif atas nama agama. Tidak heran kalau para pemuka agama tersebut sangat membenci para pemungut cukai dan mengelompokkan nya sebagai orang-orang berdosa Matius 911, 1119, Markus 216, Lukas 530, Lukas 197. Kelompok itu saling bersaing dalam mengejar kehormatan dan kendali atas ekonomi dan menguasai keagamaan dalam bentuk persepuluhan diwajibkan oleh para pemimpin agama Yahudi, berarti 10 persen dari produk pekerja, termasuk 10 persen dari hasil panen dan ternak. Ada dua jenis persepuluhan, pertama adalah persepuluhan yang disetor ke Yerusalem pada perayaan-perayaan keagamaan dan kedua persepuluhan untuk mendukung kehidupan para imam dan Lewi. Rakyat juga diwajibkan memberikan persembahan buah sulung dari hasil panen atau ternak mereka, yang dibawa ke Bait Suci dalam bentuk barang atau uang selama masa perayaan-perayaan keagamaan. Selain itu, setiap pria dewasa Yahudi juga diwajibkan untuk membayar pajak Bait Suci setiap tahun. Pengumpulan pajak itu digunakan untuk kebutuhan Bait Suci. Pada zaman Yesus pajak Bait Suci itu adalah dua dirham yang harus ditukar dengan setengah syikal, yang diperkirakan setara dengan upah kerja dua hari lihat Matius 1724-27. Bahkan menurut Sanders setiap tahun para pejabat keagamaan mendatangi rumah para petani dan meminta persembahan persepuluhan kepada jauh dari pandangan kaum awam yang mungkin beranggapan bahwa para imam, ahli Taurat dan Farisi adalah para pemimpin agama yang Ibid.,100. Kutipan langsung diterjemahkan penulis. Dreier, “The Political and Religious Structure in Jesus’ Time,” 6. E. P. Sanders, Judaism Practice and Belief 63 BCE-66 CE. London Trinity Pr Intl. 1992, 149. STULOS JURNAL TEOLOGI 103 hanya melayani urusan-urusan keagamaan. Sesungguhnya mereka adalah kaum aristokrat. Hendricks menjelaskan bahwa para imam aristokrat Bait Suci secara turun temurun memainkan peran politik yang sangat penting pada zaman Yesus. Kelas ini terdiri dari Imam Besar dan sejumlah elit imam yang secara bersama-sama bekerja mengelola Bait Suci. Para tua-tua gerousia yang juga ikut ambil bagian dalam politik Bait Suci adalah para kepala keluarga kaya di Yerusalem yang kekayaannya diperoleh dengan menjadi anggota penuh mahkamah agama Sanhedrin. Jadi orang-orang Saduki dan Farisi serta kelompok non-imam yang menjadi anggota Sanhedrin termasuk dalam kelompok imam “Para pemimpin agama, atas nama agama mengambil tanah-tanah rakyat untuk kepentingan pembiayaan institusi dan kegiatan keagamaan”…”Para penguasa yang kaya, yang tinggal di kota-kota, namun memiliki tanah di desa-desa yang digarap oleh para petani.” Jadi, jelas bahwa mereka bukan semata-mata berperan sebagai pemimpin agama, peran politik, dan pengendali ekonomi yang berkedok agama. Sekalipun Smallwood menentang asumsi adanya hubungan patronase pemerintah Romawi dengan para pemimpin agama Yahudi, namun kebanyakan ahli sejarah Yahudi maupun sarjana Alkitab menggambarkan hubungan antara para Imam Besar Yahudi dengan Roma pada permulaan penjajahan Roma di Israel adalah kolaborasi aristokrat. Richard A. Horsley mengatakan bahwa analisis yang paling dekat atas catatan Yosefus dengan jelas menunjukkan asumsi Smallwood tersebut salah. Sebagai para pemimpin yang diikuti oleh orang-orang Yahudi, para Imam Besar diharapkan bertanggung jawab untuk membimbing dan melindungi kepentingan rakyat Yahudi secara menyeluruh. Namun sebagai para pemimpin aristokrasi, diharapkan oleh Roma untuk mengontrol rakyat Yahudi demi kepentingan pemerintahan imperial sekaligus bergantung pada kekuasaan Roma untuk mempertahankan posisi kekuasaan mereka Hanson fungsi Hendricks, The Politics of Jesus., 56. Thobias A. Messakh, Konsep Keadilan dalam Pancasila Salatiga Satya Wacana Univeristy Press, 2007, 198. E. Mary Smallwood. “High Priests and Politics in Roman Palestine,” The Journal of Theological Studies, New Series, Vol. 13, No. 1, April 1962, 14- 34. Richard A. Horsley, “High priests and the Politics of Roman Palestine”, Journal of the Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, Jan. 1986, 23. 104 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI utama keluarga aristokrat, yang mana para pemimpin agama ini merupakan keluarga-keluarga aristokrat, adalah pengumpul pajak dan pedagang perantara antara petani atau nelayan sebagai produsen dan Romawi sebagai pihak yang membutuhkan sumber-sumber daya alam atau pertanian tersebut. Kedua fungsi tersebut untuk kepentingan para elit perkotaan, dan kemudian para elit tersebut bersaing untuk memperoleh kehormatan dan hak untuk mengendalikan dan menguasai pajak dari para petani.” Jadi jelas bahwa dapat dikatakan para imam, pemuka-pemuka agama dan kaum Farisi tidak lebih dari para antek asing, yang bekerja untuk Romawi dan untuk keuntungan diri sendiri dengan mengeksploitasi rakyat atas nama agama. Selanjutnya Obery M. Hendricks menafsirkan, orang-orang Saduki adalah kelompok yang paling berkuasa di Bait Suci. Orang-orang Saduki kemudian sangat berkuasa karena pengaruh kekayaan, politik, dan sosial mereka ketimbang agama. Jabatan Imam Besar mereka peroleh karena membayar kepada penguasa Roma dan raja boneka Herodes. Nampak jelas bahwa jabatan imam besar diperoleh melalui hubungan patronase dengan Romawi atau Herodes, dan mereka memanfaatkan jabatan tersebut untuk kepentingan politik, social, serta ekonomi. Pernyataan itu sekaligus menguatkan keyakinan kebanyakan ahli bahwa Imam Besar sesungguhnya adalah antek Romawi yang mengkhianati rakyat dan jabatan keagamaannya. Berhubungan dengan imam besar, Injil menggambarkan rumah imam besar yang sangat besar dan mewah, memiliki halaman yang luas, dengan pintu gerbang yang megah, dan ruang pertemuan yang besar yang memungkinkan sebagai tempat pertemuan tujuh puluh satu anggota Sanhedrin, termasuk para hamba mereka dan para penjaga Bait Suci Yohanes 1812-18. Para imam aristokrat juga memiliki sejumlah tanah di luar Yerusalem, dan Yosefus mengatakan bahwa jumlah properti mereka yang sangat banyak berasal dari persepuluhan selama menjabat menjadi imam. Itu berarti jabatan keagamaan tidak dipakai sebagai kesempatan untuk melayani umat, namun justru dimanfaatkan demi kepentingan memperkaya keluarga serta kolega-koleganya. Alih-alih meringankan beban K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition,” Biblical Theology Bulletin, 27, August 1997 100. Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus, 57. Ibid., 58. STULOS JURNAL TEOLOGI 105 rakyat yang sengsara akibat penjajahan, justru membuat beban kesengsaraan rakyat bertambah dua kali lipat. Demi mempertahankan pendirian akomodatif terhadap Roma dan melindungi status ekonomi, para imam terus menerus mempertahankan hubungan dekatnya dengan para penguasa. Mereka terus memberikan korban-korban kepada kaisar untuk menunjukkan kesetiaan mereka kepada kaisar. Bahkan di hadapan Pilatus dan di hadapan rakyat pada saat sidang pengadilan Yesus, imam-imam kepala itu dengan lantang berseru, “Kami tidak mempunyai raja selain daripada Kaisar!” Yohanes 1915. Hendricks berkata bahwa “meskipun perlakuan Roma terhadap rakyat sangat keras, namun memperlakukan para imam dengan istimewa. Timbal balik nya Roma melindungi Bait Suci di Yerusalem, karena merupakan sumber utama dari kekayaan para imam dan dengan brutal membantu untuk menyingkirkan siapapun yang dianggap mengancam status dan kekuasaan Agung dengan terang-terangan mengendalikan imam besar dan memiliki hak untuk menunjuk siapa yang menjadi imam besar. Kualifikasi utama calon imam besar adalah yang memiliki kerelaan untuk memberikan apa yang diminta oleh Herodes dan Roma. Antara tahun 35 sampai tahun 4 SM Herodes Agung sendiri telah menunjuk atau mengangkat tujuh imam besar, dan salah satu di antara mereka adalah Yusuf bin Elim yang melayani sebagai imam besar hanya dalam satu hari saja. Fakta ini menunjukkan bahwa jabatan imam besar merupakan jabatan yang dibeli dari penguasa dan harus dipertahankan melalui memberikan upeti dan berbagai hal demi menyenangkan penguasa. Kebergantungan imam besar pada perlindungan Roma adalah demi mempertahankan status istimewa mereka, dan oleh karena itu raja-raja penerus Herodes lainnya tetap mempertahankan budaya kolusi tersebut. Mereka yang mengangkat atau memecat imam besar. Yohanes menyindir “Kayafas, Imam Besar pada tahun itu” Yohanes 1149 berimplikasi jabatan imam bisa saja berganti setiap tahunnya, Hanas digantikan oleh menantunya Kayafas karena “Hanas adalah mertua Kayafas, yang pada tahun itu menjadi Ibid., 58. Ibid., 59. Ibid., 59. 106 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI Imam Besar.”Yohanes 1813. Sindiran tersebut menunjukkan bahwa jabatan imam besar merupakan jabatan hasil kolusi dan nepotisme. Kehidupan para imam dan keluarga mereka sangat rakus dan mewah. Pada perayaaan-perayaan agama mereka harus diberikan makanan yang mahal dan minuman dari anggur terpilih pada gelas kristal. Para wanita dari keluarga imam minta untuk berjalan di atas karpet mulai dari rumahnya menuju Bait Suci di Yerusalem pada Hari Pendamaian. Menurut Obery M. Hendricks, ketika Pilatus mendirikan patung Kaisar di Yerusalem pada tahun 39 M dan menimbulkan protes besar-besaran dari rakyat, di sana tidak disebut keterlibatan para imam dalam protes A. Horsley mengatakan bahwa para imam aristokrat itu secara terus menerus berusaha mempertahankan hubungan kerjasama yang baik dengan Roma atau wali negeri Roma. Mereka jelas merupakan antek-antek penjajah dan demi memperkaya diri sendiri “menghisap darah” bangsanya sendiri. Kekuatan Politik, Sosial dan Ekonomi Para Pemungut Cukai Selain para imam, pemuka agama, dan Farisi, para pemungut cukai juga adalah kapitalis lokal yang berkolaborasi dengan para penguasa untuk memeras rakyat miskin. Menurut Cecilia Wassen setelah reformasi di bawah Julius Caesar para pemungut cukai adalah para pegawai negeri yang dipekerjakan oleh negara, dan mereka sangat giat bekerja untuk Romawi dan rela disamakan dengan orang kafir bagi pemungut cukai memiliki tugas untuk memungut pajak pertanian, pajak distribusi, pajak penangkapan ikan di danau Galilea, dan pajak-pajak kegiatan produktif lainnya, karena pemerintah tidak menetapkan jumlah pajak yang jelas untuk dibayarkan, hal tersebut membuka peluang untuk melakukan itu diakui sendiri oleh Zakheus ketika masih menjadi kepala pemungut Ibid., 60. Richard A. Horsley, “High priests and the Politics of Roman Palestine”, Journal of the Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, Jan. 1986, 31. Cecilia Wassen, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and Sinners” Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the Study of the Historical Jesus, Vol. 14 Oct. 2016, 143-144. Cecilia Wassen, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and Sinners” Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the Study of the Historical Jesus, Vol. 14 Oct. 2016 144. STULOS JURNAL TEOLOGI 107 cukai Lukas 198. Ketika para pemungut cukai datang untuk memberi diri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis mereka bertanya, “Guru, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawab, “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu” Lukas 312-13. Jawaban Yohanes tersebut mengindikasikan bahwa sudah diketahui oleh umum bahwa para pemungut cukai menetapkan jumlah yang lebih besar dari yang seharusnya. Di wilayah Galilea, Kaisarberpatronase dengan Herodes Antipas dan memberikan upeti kepada Kaisar. Hubungan patronase tersebut memberikan wewenang kepada Herodes Antipas untuk menarik pajak dalam bentuk uang dan barang dan menunjuk para kepala pemungut cukai untuk menjalankan pekerjaan tersebut. Herodes memberikan hak kepada para kepala pemungut cukai untuk menarik pajak dalam bentuk uang dan barang. Semakin tinggi jumlah yang disetor akan semakin membuat Herodes menjadi senang dan akan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan tersebut. K. C. Hanson membuat bagan cara kerja para pemungut cukai yang beroperasi di danau Galilea, yang merupakan sumber keuntungan dan pemasukan bagi pemerintahan Herodes Antipas dan patron Romawinya. Pertama, di sana ada pemungut cukai yang bertindak sebagai broker yang membayar kepada kepada kepala pemungut cukai untuk memiliki hak monopoli penangkapan ikan. Para broker adalah para pengusaha yang memiliki perahu beserta segala perlengkapan penangkap ikan untuk disewakan. Jadi, selain memberikan pajak penangkapan ikan berupa uang dan hasil tangkapan, nelayan juga harus membayar sewa perahu dan perlengkapan kepada para broker tersebut. Kedua, selain para broker tersebut nantinya ada juga pemungut cukai yang mendapat hak memungut pajak dari kepala pemungut cukai untuk kegiatan pengepakan ikan sebelum didistribusikan ke pasar. Para pemungut cukai yang memberikan izin usaha pengepakan dan berhak juga menarik pajak, dan harus juga menyetor sebagian hasil pungutannya kepada Kepala pemungut cukai, di atasnya. Ketiga, ada juga pemungut cukai, toll collector yang menerima wewenang dari Kepala pemungut cukai untuk memberikan ijin penggunaan jalan dan Herodes Antipas memerintah pada masa pemerintahan Augustus, Tiberius dan Caligula. K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”, Biblical Theology Bulletin, 27, August 1997, 101. 108 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI pelabuhan untuk pendistribusian ikan-ikan yang sudah dikemas dan mereka memiliki wewenang untuk menarik pajak jalan dan sebagian hasilnya akan disetorkan kepada kepala pemungut cukai. Selain berhubungan dengan kepala pemungut cukai, toll collector ini juga berhubungan langsung dengan kekaisaran Romawi, karena jalan dan pelabuhan adalah fasilitas pemerintah dan melibatkan para prajurit untuk memastikan keamanan dari para perampok. Keempat, ada juga pemungut cukai yang mendapat wewenang dari kepala pemungut cukai untuk menarik pajak jual/beli produksi perikanan yang hasilnya akan disetor kepada kepala pemungut cukai. Kelima, selanjutnya kepala pemungut cukai akan menyetor hasil pungutan pajak tersebut kepada Herodes Antipas dan Herodes Antipas akan memberikan upeti kepada Kaisar. Gambaran sistem pajak tersebut membuat jelas untuk mengerti mengapa rakyat menjadi begitu miskin. Beban pajak dari berbagai sisi begitu membebani, dari pemerintah sekular maupun institusi keagamaan. Situasi dan Kondisi Ketimpangan Sosial-Ekonomi Akibat struktur politik, sosial dan ekonomi yang sangat eksploitatif, baik di bawah pemerintahan langsung Romawi, Herodes dengan para pemungut cukainya, dan pemimpin lembaga keagamaan muncul ketimpangan sosial ekonomi yang sangat besar antara elit dan rakyat miskin. Ketika seorang wanita mengurapi kaki Yesus dengan minyak narwastu, Yudas langsung mengeluhkan tindakan tersebut dan mengatas-namakan orang miskin untuk menyalahkan tindakan tersebut Yohanes 124-5, ini menunjukkan bahwa problem kemiskinan merupakan problem utama zaman itu. Memang Yohanes mencatat bahwa Yudas yang “peduli” kepada orang-orang miskin, namun dari perkataan menggambarkan bahwa kemiskinan adalah kondisi umum dari masyarakat. Lukas menulis, “Ada seorang kaya yang selalu berpakaian jubah ungu dan kain halus, dan setiap hari ia bersukaria dalam kemewahan. Dan ada seorang pengemis bernama Lazarus, badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya” Lukas 1619-21. Apa yang dituliskan STULOS JURNAL TEOLOGI 109 Lukas tersebut menggambarkan perbedaan yang sangat jauh antara kondisi orang kaya dan orang miskin. Harapan dan penghiburan diberikan Yesus kepada orang-orang miskin dengan berkata, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” Lukas 620. Ini menggambarkan tentang kondisi kebutuhan makanan sehari-hari yang sungguh sulit bagi orang-orang miskin. Itulah sebabnya dalam doa yang Yesus ajarkan termasuk menyebutkan, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” Matius 611. Bruce J. Malina and Richard L. Rohrbaugh mengatakan bahwa orang-orang pada zaman itu memandang bahwa setiap orang kaya memperoleh kekayaan dengan cara-cara yang tidak benar atau memperoleh warisan kekayaan yang diperoleh dari cara-cara yang tidak benar. Orang kaya pada zaman itu disinonimkan dengan keserakahan dan orang miskin tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan miliknya. Para imam yang melayani di Bait Suci adalah orang-orang kaya, istilah orang kaya yang disamakan dengan “keserakahan” dan “keji”.Masyarakat kalangan bawah bukan hanya terdiri dari beberapa masyarakat yang memiliki tanah pertanian yang sempit, namun kebanyakan dari antara mereka bahkan tidak memiliki tanah pertanian sama sekali. Kebanyakan mereka adalah para petani penyewa, para buruh tani, dan para budak yang mengerjakan tanah pertanian kaum elit perkotaan. Kontrak sewa tanah biasanya secara tertulis yang kemudian menjadi alat untuk menjerat para penyewa miskin secara hukum. Beberapa penyewa membayar sewa tetap dan ada juga yang menggunakan sistem bagi hasil. Biaya sewa bisa setara dengan dua per tiga dari hasil panen. Banyak penyewa yang memiliki banyak anak akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga dari produksi pertanian. Keluarga-keluarga yang demikian akhirnya terbelit hutang. Bahkan menurut Richard L. Rohrbaugh terdapat kasus di mana seluruh penduduk dari sebuah desa bekerja sebagai para penyewa untuk satu tuan tanah. Pada umumnya adalah para petani yang telah kehilangan tanah Bruce J. Malina and Richard L. Rohrbaugh, Social-Science Commentary on the Synoptic Gospels. Minneapolis Fortress, 2003, 400-01. Richard L. Rohrbaugh, “The Social Location of the Marcan Audience”, Biblical Theology Bulletin Journal of Bible and Culture, Vol, 23, Issue 3, August 1993, 121. 110 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI mereka untuk membayar hutang atau anak-anak yang tidak mendapatkan warisan tanah pertanian dan juga tidak memiliki uang untuk C. Hanson menggambarkan ketimpangan sosial ekonomi dalam struktur ekonomi politik seperti berikut ini 1 fungsi utama yang dilakukan oleh para keluarga bangsawan atau aristokrat adalah mengumpulkan pajak, dan fungsi tersebut adalah untuk kepentingan elit perkotaan. 2 Sementara sejumlah kecil elit bersaing untuk memperoleh kedudukan terhormat dan hak untuk mengendalikan dan menarik pajak dari para keluarga petani. Para keluarga petani tetap pada aras subsistens, diperkuat lagi dengan penerimaan hirarki secara “alami”. 3 Sistem pemerintahan penjajah Roma yang “eksploitatif” membuat para petani tidak dapat menolak untuk dikendalikan oleh mereka dan harus membayar pajak. 4 Sebagian besar produktivitas para keluarga petani mengalir kepada keluarga-keluarga bangsawan dalam bentuk tenaga kerja, produksi, uang melalui instrumen-instrumen seperti persepuluhan, pajak, bea, biaya sewa, upeti dan penyitaan. Kemudian 5 perbaikan infrastruktur seperti jalan, saluran air, dan pelabuhan tidak menguntungkan keluarga-keluarga miskin, namun justru menguntungkan keluarga-keluarga bangsawan. Penjelasan tersebut menunjukkan betapa menderitanya para petani dan nelayan miskin di Galilea dengan beban pajak yang tinggi tersebut. Yosefus pernah mengindikasikan pengumpulan upeti untuk Roma di Yudea dikendalikan oleh para elit perkotaan para imam dan tua-tua, dan pengumpulan upeti di Galilea dilakukan oleh Herodes, sehingga para Kaisar menjadi sangat kaya melalui patronase mereka dengan para klien penguasa lokal seperti dinasti Herodes. Menurut nya, Herodes Antipas, penguasa Galilea adalah seorang “pecinta kemewahan” dan untuk memenuhi gaya hidup mewahnya ia harus mengekspolitasi sumber-sumber daya di Galilea. Beban pajak dan upeti ditambah lagi dengan para pemungut cukai atau pengumpul pajak yang seringkali memeras rakyat dengan cara menarik pajak lebih daripada yang seharusnya. Ibid., 121. K. C. Hanson, “The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition”, Biblical Theology Bulletin, 27, August 1997 100. Ibid., 101-103. STULOS JURNAL TEOLOGI 111 Richard L. Rohrbaugh menjelaskan bahwa orang-orang Galilea yang memiliki tanah, tanah mereka pun tidak luas. Karena produktivitas dari tanah yang tidak terlalu luas tersebut rendah dan tidak stabil, ditambah lagi dengan keharusan untuk mendukung Bait Suci dan para imam, pajak dan upeti yang harus diberikan kepada pemerintah raja wilayah Herodes dan kekaisaran Roma. Total pajak yang harus mereka bayar untuk semua itu bisa mencapai empat puluh persen, ditambah dengan berbagai kebutuhan lainnya menyebabkan para petani meluncur ke dalam jurang lain yang berkontribusi pada kemiskinan di Israel adalah hutang yang ditanggung oleh orang-orang miskin. Hasil pertanian subsisten menyebabkan tidak adanya kelebihan setelah dikonsumsi, sehingga sejumlah besar petani meminjam uang dari orang-orang kaya untuk digunakan membayar pajak kepada pemerintah Roma. Hasil pertanian berikutnya juga belum tentu cukup, dan itu menyebabkan mereka semakin tercekik oleh hutang. Akibat yang mengerikan dari gagal membayar hutang digambarkan dalam Matius 1825-35, dengan dua konsekuensi mengerikan pertama, “ia dijual menjadi budak beserta anak isterinya untuk membayar hutangnya” Matius 1825, kedua, sebagian mungkin akan memutuskan untuk bunuh diri demi menghindari perbudakan dan penyiksaan yang sering dialami oleh para J. Malina dan Richard L. Rohrbaugh menjelaskan bagaimana proses para petani jatuh ke dalam perangkap hutang. Pertama, pertumbuhan penduduk, karena semakin banyak mulut yang harus diberi makan, sementara margin penghasilan menurun maka harus meminjam untuk kebutuhan hidup. Kedua, curah hujan yang tidak menentu menyebabkan kemungkinan membuat gagal panen. Dua peristiwa kelaparan pernah terjadi, yaitu pada tahun 25 SM pada masa pemerintahan Herodes Agung dan tahun 46 M di bawah pemerintahan Klaudius sebagaimana telah dinubuatkan oleh nabi Agabus band. Kisah Rasul 1128. Ketiga, banyak tuntutan seprti persepuluhan, berbagai pajak, upeti dan berbagai korban lainnya. 30-40 persen dari total produksi pertanian biasanya diambil untuk membayar berbagai macam pajak. Akibatnya para petani tidak mampu membayar Rohrbaugh,” The Social Location of the Marcan Audience”, 120. Obery M. Hendricks, The Politics of Jesus Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted, 64 112 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI pinjaman untuk benih atau modal sewa tanah, bahkan kadang-kadang menyewa tanahnya sendiri yang telah diambil pemberi pinjaman sebagai jaminan kelaparan, kehilangan tempat tinggal, kehilangan kepemilikan merupakan akibat dari hutang dan gagal membayar hutang di kalangan masyarakat bawah, diikuti oleh faktor-faktor psiko-emosional yang menyebabkan rasa takut, tidak aman, alienasi sosial dan kebencian terhadap pendudukan penjajah mereka menyebabkan kejahatan atau kriminalitas yang terus meningkat. Kejahatan merupakan gejala klasik dari rusaknya politik dan ekonomi. Kejahatan di Israel pada abad pertama begitu umum sehingga hukum Roma menyamakan darurat kejahatan dengan bencana alam seperti badai, gempa bumi dan belakang tingginya tingkat kejahatan dan perampokan tergambar di balik latar belakang perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati Lukas 1025-37. Markus 1527 menggunakan kata lestais atau penyamun, perampok, untuk dua orang yang disalibkan bersama dengan Yesus dan mereka dipandang bukan hanya sekedar perampok, namun mereka juga dipandang sebagai pemberontak Roma sehingga dieksekusi dengan cara disalib. Barabas disebut juga lestais Markus 157-15 dan Lukas menyebut “Barabas ini dimasukkan ke dalam penjara berhubung dengan suatu pemberontakan yang telah terjadi di dalam kota” Lukas 2319. Mengapa rakyat Yahudi lebih memilih Barabas untuk dibebaskan? Hendricks mengatakan karena di mata mereka Barabas dikenal oleh rakyat sebagai nasionalis Yahudi yang memberontak melawan Roma dan kemungkinan Pilatus melepaskan Barabas untuk menghindari kerusuhan. Malina dan Rohrbaugh memperkirakan bahwa dua penyamun yang disalibkan bersama dengan Yesus, dan juga Barabas yang dibebaskan sebagai ganti penyaliban Yesus adalah para bandit sosial yang memiliki perjuangan untuk membebaskan kemiskinan dan ketertindasan Yunani lestais yang digunakan dalam Matius 2655, Markus 1448, Lukas 2252 secara konsisten digunakan oleh Yosefus untuk mendeskripsikan fenomena social banditry perampok budiman yang Ibid., 349. Hendricks, The Politics of Jesus, 66. Malina and Rohrbaugh, Social-Science Commentary on the Synoptic Gospels, 402 STULOS JURNAL TEOLOGI 113 memainkan peran yang sangat penting dalam penyebaran kekacauan sebelum pemberontakan besar pada tahun 66 M. Bandit sosial adalah fenomena yang hampir bersifat universal untuk masyarakat pedesaan, di mana para petani dan para buruh yang tidak memiliki tanah dieksploitasi oleh elit yang memerintah. Orang-orang terusir dari ladangnya sendiri karena tidak dapat membayar hutang. Muncul banyak bandit yang merampok orang-orang kaya untuk membantu orang-orang miskin. Para bandit seperti itu biasanya didukung oleh para petani lokal. Secara historis bandit-bandit seperti itu akan meningkat jumlahnya ketika hutang, kelaparan, pajak, krisis ekonomi, dan politik mendorong mereka terusir dari tanah mereka Yunani lestais yang digunakan oleh Yesus ketika berkata, “Sangkamu Aku ini penyamun lestes, maka kamu datang lengkap dengan pedang dan pentung untuk menangkap Aku?” Suatu cap yang dikenakan sebagai pengganggu stabilitas keamanan dan pejuang anti-Roma Matius 2655, Lukas 2252..Apakah para bandit Galilea benar-benar adalah para “perampok budiman” sebagaimana telah digali dalam karya Yosefus? Menurut Lincoln Blumell, perampok budiman mungkin memiliki beberapa kemiripan dengan gambaran para bandit Galilea, namun bandit Galilea tidak menyerupai perampok budiman. Gambaran tentang bandit Galilea muncul sejak zaman Herodes hingga pecahnya pemberontakan. Karakteristik mereka beragam dan kompleks, namun para bandit Galilea yang digambarkan Yosefus tidak menyerupai perampok budiman. Terlepas apakah para bandit Galilea adalah perampok budiman atau bukan, tingkat kejahatan dan munculnya para bandit disebabkan oleh karena kemiskinan dan penindasan rakyat kecil. IMPLIKASI PADA KEPRIHATINAN KRISTEN 1. Perangkap Subsistensi Ibid., 401. Ibid., 402. Lincoln Blumell, “Social Banditry? Galilean Banditry from Herod until the Outbreak of the First Jewish Revolt,” Scripta Classica Israelica, Vol. 27, 2008 43, 49. 114 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI Jika seseorang ingin meningkatkan kesejahteraan hidup, maka ia harus memiliki kelebihan hasil produksi setelah dipotong biaya total total cost produksi dan konsumsi. Namun jika total hasil produksi hanya setara dengan biaya total dan konsumsi, maka keluarga tersebut terperangkap dalam apa yang disebut subsistence traps”. Terlebih lagi jika bukan hanya tidak ada kelebihan hasil produksi, tetapi bahkan untuk kebutuhan konsumsi keluargapun tidak mencukupi karena semua hasil produksi setara dengan biaya total produksi, maka akibatnya keluarga tersebut bisa terperangkap dalam uninsurable-risk traps dan debt bondage traps. Pemaparan situasi dan kondisi struktur ekonomi di atas menunjukkan bahwa para petani miskin Yahudi telah terperangkap dalam perangkap subsistensi ini, dimana hanya menggantungkan hidup pada kegiatan-kegiatan produksi subsisten, yang sisa hasil produksinya hanya cukup untuk dikonsumsi. Bahkan kondisi yang lebih buruk bisa terjadi di mana sisa hasil produksinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi karena jumlah mulut yang harus diberi makan banyak. Jelas sekali bahwa perangkap subsistensi merupakan faktor lain yang menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan rakyat sejak zaman Yesus. 2. Perangkap Ketidakberdayaan Stephen C. Smith mengatakan bahwa perangkap kondisi tidak berdaya powerlessness traps adalah perangkap kemiskinan yang sangat nyata. Mengutip Mohammad Yunus dikatakan “bahwa orang miskin tetap dalam kemiskinan bukan karena mereka mau, namun karena banyak penghalang yang dibangun mengelilingi mereka oleh orang-orang yang mengambil keuntungan dari kemiskinan mereka. Para tuan tanah, para rentenir, para pejabat korup, justru melihat dunia akan menjadi menuntungkan bagi jika kemiskinan terus berlangsung daripada zaman Yesus para elit Yahudi mempertahankan situasi dan kondisi kemiskinan rakyat demi peluang mereka untuk memperkaya diri. Elit agama pun mempertahankan ketimpangan dan kemiskinan agar mereka terus dapat melakukan pemerasan dan eksploitasi dan memperkaya diri mereka. Smith, Stephen C., Ending Global Poverty A Guide to What Works New York Palgrave Macmillan, 2005, 17. STULOS JURNAL TEOLOGI 115 3. Perangkap Resiko Tinggi Apa yang dimaksud dengan perangkap resiko tinggi uninsurable-risk traps ini? Stephen C. Smith menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki aset paling sedikit akan menghadapi bahaya kerugian terbesar, bahkan mungkin justru akan kehilangan aset-aset dasar mereka, misalnya tanah mereka, sebagai akibat dari berbagai resiko yang tidak dapat mereka jamin. Mayoritas orang yang paling miskin adalah para petani karena pada umumnya tidak mampu memperoleh asuransi apapun, sehingga mereka harus berorientasi sepenuhnya pada pertanian demi meminimkan resiko-resiko bencana kekeringan atau goncangan lain yang membuat keluarganya menghadapi petani miskin diperhadapkan pada perangkap yang tidak dapat dijamin karena hanya mengandalkan hasil pertanian yang tidak menentu dan tidak dapat dijamin keberhasilannya. Namun tetap harus berhutang untuk menyewa tanah ataupun membeli benih, jika mengalami gagal panen maka harus kehilangan segalanya untuk disita dan melunasi hutang-hutang tersebut. Namun tidak memiliki pilihan lain selain menghadapi resiko tinggi untuk hidup. 4. Perbudakan akibat Hutang Uninsurable-risk traps juga dapat menciptakan apa yang Stephen C. Smith sebut dengan istrilah debt bondage traps perangkap perbudakan hutang. Smith menjelaskan bahwa memperoleh pinjaman yang salah dari pemberi pinjaman yang jahat dapat menjadi perangkap budak hutang, karena rentenir yang memberikan pinjaman dalam jumlah yang besar dengan tingkat bunga yang besar sebenarnya justru untuk memastikan agar debitur tidak akan pernah dapat keluar dari perangkap hutang. Jika si miskin tidak mampu membayar hutang maka properti dapat disita, Rentenir dapat memberi jalan keluar dengan mengharuskan debitur untuk bekerja kepadanya sebagai Ibid., 13. 116 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI pembayaran hutang-hutangnya; dan tetap produktif untuk tetap bekerja kepadanya, sehingga berada dalam lingkaran hutang tanpa lagi berbagai pungutan yang sangat eksploitatif yang memaksa rakyat miskin lainnya berhutang untuk kebutuhan konsumsi. Keharusan berhutang dengan tingkat bunga tertentu walaupun tidak dapat menjamin bahwa hasil panen atau usahanya akan baik dan cukup baik untuk membayar pajak, biaya konsumsi, dan membayar hutang beserta bunganya. Sekalipun sudah demikian, karena tidak ada pilihan lain, mereka harus kembali berhutang untuk menyewa tanah pertanian demi menghidupi keluarga. Namun alih-alih dapat membayar hutang sewa tersebut, akhirnya mereka harus menyerahkan diri dan anggota keluarganya untuk bekerja sebagai budak. Ini menyebabkan kemiskinan struktural sejak dulu sampai sekarang. 5. Perangkap Kriminalitas Stephen C. Smith menjelaskan bahwa anak-anak muda tanpa akses ke pendidikan yang baik dan yang melihat suramnya masa depan akan ditarik ke dalam budaya kriminalitas. Luka emosional dari pengalaman hidup di dunia yang keras menyebabkan mereka suka berkelahi, mencuri, dan melakukan aktivitas-aktivitas kriminal lainnya kemudian terperangkap dalam apa yang disebut criminality traps dan banyak korban tidak bersalah dari tindakan kejam mereka, kebanyakan justru adalah orang-orang miskin juga. Pada gilirannya akan menarik lebih banyak orang miskin di sekitarnya terpaksa masuk ke dalam kriminalitas. Itulah criminality traps .Jelas bahwa perangkap kriminalitas merupakan faktor lain dari ketimpangan dan kemiskinan yang semakin memprihatinkan. Bahkan akibat luka emosional kemiskinan telah menaikan tingkat kriminalitas yang tinggi di Israel. Walaupun ada teori bandit sosial, namun ada juga kejahatan-kejahatan di mana korbannya tidak lain selain orang-orang miskin juga. KESIMPULAN Ibid., 13. Ibid., 16. STULOS JURNAL TEOLOGI 117 Penggunaan teori sosial modern untuk meneropong fenomena pada zaman Alkitab menyingkap karakteristik kemiskinan pada zaman Yesus. Bahkan bersifat struktural terdistorsi secara politik, ekonomi, dan sosial yang terbukti menjadi penyebab kemiskinan struktural di Israel. Di antaranya adalah munculnya kolonialisme transnasional, kolonialisme internal, kolaborasi kolonialisme transnasional-internal, Ada pelajaran-pelajaran penting, khususnya bagi gereja dan orang Kristen dalam menyikapi ketimpangan sosial-ekonomi yang mungkin sedang terjadi di sekitarnya. Pertama, gereja harus berani menyebut sebagai tindakan kejahatan jika pejabat publik bekerja untuk melayani diri sendiri ketimbang melayani masyarakat, jika regulasi perpajakan mengutamakan kepentingan orang kaya, jika para pekerja yang menghasilkan keuntungan melimpah digaji secara tidak layak. Kedua, seperti disepanjang pelayanan-Nya, Yesus memperdulikan masyarakat dan kebutuhan mereka dengan menyembuhkan jasmani, psikis, dan jiwa mereka. Demikian juga gereja tidak seharusnya hanya memperdulikan kebutuhan jiwa dan menutup mata akan kebutuhan jasmani dan psikis mereka. Gereja harus peka terhadap kemiskinan dan ketimpangan di sekitarnya dengan tindakan yang lebih nyata ketimbang hanya sekedar orasi. Seperti pepatah lama mengatakan bahwa tindakan terdengar lebih keras ketimbang perkataan. DAFTAR PUSTAKA Baron, Salo Wittmayer. A Social and Religious History of the Jews. New York Columbia University Press, 1952. Berlinerblau, Jacques. The Vow and the Popular Religious Groups’ of Ancient Israel A Philological and Sociological Inquiry. Sheffield Sheffield Academic Press, 1996. Blumell, Lincoln. “Social Banditry? Galilean Banditry from Herod until the Outbreak of the First Jewish Revolt,” Scripta Classica Israelica, 27 2008. Bradshaw, Ted K., “Theories of Poverty and Anti-Poverty Programs in Community Development, Community Development, Vol. 38, 2007. 118 MENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI Calvert. “Internal colonisation, development and environment,” Third World Quarterly, 22, Issue 1, 2001. Dreier, Gary. The Political and Religious Structure in Jesus’ Time, Living in Christ Series, Winona Saint Mary’s Press, 2010. Elliott, John H. “Social-scientific criticism Perspective, process and payoff. Evil eye accusation at Galatia as illustration of the method”, HTS Teologiese Studies/Theological Studies, Vol. 67, No. 1, 2011. Fox, Michael V., Victor Avigdor Hurowitz, Avi Hurvitz, Michael. L. Klein, Baruch J. Schwarz and Nili Shupak. Eds. Temples, and Traditions A Tribute to Menahem Haran. Winona Lake Eisenbrauns, 1996. Hanson, K. C. The Galilean Fishing Economy and the Jesus Tradition, Biblical Theology Bulletin, 27, 1997. Hendricks, Obery M. The Politics of Jesus Rediscovering the True Revolutionary Nature of Jesus’ Teachings and How They Have Been Corrupted. New York Three Leaves Press, 2006. Horsley, Richard A. “High priests and the Politics of Roman Palestine”, Journal of the Study of Judaism, Vol. 17, No. 1, 1986. Jeremias, Joachim. Jerusalem in the Time of Jesus An Investigation into Economic and Social Conditions during the New Testament Period. Philadelphia Fortress Press, 1969. Lincoln, Lawrence R. “A Sosio-Historical Analysis of Jewish Banditry in First Century Palestine 6 to 70 AD”. of Stellenbosch. 2005. Linco. pdf. Carter, C. E. and C. L. Meyers, Eds. Community, Identity, and Ideology Social Science Approaches to the Hebrew Bible. Winona Lake Eisenbrauns, 1999. Malina, Bruce J. and Richard L. Rohrbaugh, Social-Science Commentary on the Synoptic Gospels. Minneapolis Fortress Press, 2003. Messakh, Thobias A. Konsep Keadilan dalam Pancasila. Salatiga Satya Wacana Univeristy Press, 2007. Overholt, Thomas, “Prophecy The Problem of Cross-Cultural Comparison”, Community, Identity, and Ideology Social Science Approaches to the Hebrew Bible, C. E. Carter and C. L. Meyers. Eds. Winona Lake Eisenbrauns, 1996. STULOS JURNAL TEOLOGI 119 Purwanto, Edi. Dinamika Persaingan Lokal & Global di Era Globalisasi. Tangerang Philadelphia Publishing, 2015. Rohrbaugh, Richard L. “The Social Location of the Marcan Audience”. Biblical Theology Bulletin Journal of Bible and Culture, Vol, 23, Issue 3, 1993. Sanders, E. P. Judaism Practice and Belief 63 BCE-66 CE. London Trinity Pr. 1992. Sherwin-White, A. N. Roman Society and Roman Law in the New Testament. Grand Rapids Baker, 1992. Smallwood, E. Mary. High Priests and Politics in Roman Palestine”. The Journal of Theological Studies, New Series, Vol. 13, No. 1, 1962. Sneed, “Mark. The Class Culture of Proverbs Eliminating Stereotypes”. Scandinavian Journal of the Old Testament, vol. 10 1996. Sneed, Mark. “Social Scientific Approach to the Hebrew Bible” Religion Compass Vol. 2, No. 3 2008. Smith, Stephen C., Ending Global Poverty A Guide to What Works. New York Palgrave Macmillan, 2005. Tjandra, Lukas. Latar Belakang Perjanjian Baru 3 Vol. Malang Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1993. Wassen, Cecilia, “Jesus’ Table Fellowship with “Toll Collectors and Sinners” Questioning the Alleged Purity Implications” Journal for the Study of the Historical Jesus, Vol. 14, 2016. Weber, Max. Ancient Judaism. H. H. Gerth and D. Martindale trans.. New York Free, 1952. BandungJanuari-Juni 2019Januari-Juni 2019Volume 17 Nomor 1Januari-Juni 2019Volume 17Nomor 1Vol. 17No. 1Hal. 1-136PERLUNYA FONDASI TEOLOGIS UNTUK PENDIDIKAN KARAKTER BERDASARKAN 'PEMBENARAN OLEH IMAN' MARTIN LUTHERCathryne B. Nainggolan & Daniel Santoso MaTINJAUAN ULANG TERHADAP “KESEMBUHAN ILAHI” PERSPEKTIF INJILITogardo SiburianSIGNIFIKANSI APOLOGETIKA DALAM PENGINJILANTumpal Hasudungan HutahaeanPEMBAURAN CAKRAWALA YANG MENTRANSFORMASI HIDUP DALAM PEMBUKAAN SURAT GALATIA 111-24 Bhanu ViktorahadiMENEROPONG KETIMPANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT YAHUDI PADA ZAMAN YESUS MELALUI LENSA TEORI SOSIALEdi PurwantoPEMBELAJARAN BAHASA BERBASIS KEMANUSIAANWemmy Prayogo Herman SimarmataTri PrasetyaThe parable of Lazarus and the rich man provides information for today's believers so that they can respond to everything well, especially those that are directly related to the salvation of eternal life. So that this research can provide meaning for narrative analysis for readers. Using the descriptive method of narrative criticism, it can be concluded that the first is that the narrative about Lazarus and the Rich Man provides an illustration for believers that luxury and abundance do not guarantee someone will receive salvation from God. second is absolute salvation only in the proclamation of Jesus Christ, who accepts and believes to be with Him forever. The third is that while living in this mortal world, have a love for many people as Jesus was willing to empty himself to take on the form of a human just to save all those who believe in Him. AbstrakPerumpamaan tokoh lazarus dan orang kaya memberikan informasi bagi orang percaya masa kini agar dapat menyikapi segala sesuatu dengan baik, apalagi yang berkaitan langsung dengan keselamatan hidup kekal. Sehingga penelitian ini dapat memberikan makna bagi analisi narativ bagi para pembaca. Mengunakan metode dekritif kritik naratif maka dapat disimpulkan bahwa pertama adalah dari narasi tentang Lazarus dan orang kaya memberikan gambaran bagi orang percaya bahwa kemewahan dan kelimpahan tidak menjamin seseorang menerima keselamatan yang dari Allah. kedua adalah keselamatan mutlak hanya ada di dalam pemberitaan tentang Yesus Kristus, yang menerima dan percaya akan bersama dengan Dia selama-lamanya. Ketiga adalah selama hidup dalam dunia yang fana ini, milikilah kasih kepada banyak orang sebagaimana Yesus rela mengosongkan dirinya untuk mengambil rupa menjadi manusia hanya untuk menyelamatkan semua orang yang percaya Hasiholan TampubolonAjaran dan praktik non-kekerasan pada umumnya menjadi ciri seorang pengikut Yesus. Dimulai dari Fransiskus dari Asisi hingga John Howard Yoder mengajarkan bahwa seorang Kristen seharusnya memraktekkan kehidupan non-kekerasan. Namun, artikel ini mencoba melihat sisi lain dari pelayanan Yesus, secara khusus dari teks yang mengisahkan mengenai perintah Yesus kepada para murid untuk membawa senjata dan ketika yesus menubuatkan mengenai kehancuran Bait Allah. Melalui metode penelitian studi pustaka, penulis menemukan bahwa ada indikasi bahwa Yesus berencana melakukan tindakan kekerasan. Melalui hasil tersebut, penggambaran Yesus yang menghidupi ajaran non-kekerasan menjadi terbuka untuk reflecting on the context of the mission in the Gospels, often touches on various dimensions, both physical, emotional, intellectual, social, and spiritual for each person and his environment. Many Gospel narratives show the face of friendliness as well as the social responsibility of Jesus in public spaces. Jesus didn't just stop at the gracious nature of God in His mission of ministry but also inspired his listeners to bring out the same kind of hospitality that Jesus did. This needs to reflect the portrait of church life in Indonesian society, which in general tends to focus on religious formalism. This paper aims to explore the concept of Jesus' mission and to realize it practically in the context of Indonesian society today. The method used is descriptive analysis and a hermeneutic approach to the narratives in the Gospels. This study seeks to offer a contextual concept and model of Jesus' ministry to the community served not only as an object of God's hospitality but also as a subject who actively participates in presenting hospitality in public spaces. In conclusion, the mission that Jesus intended to be carried forward by the church was God's mission which Jesus himself had accomplished during his earthly ministry, namely manifesting God's hospitality for humans through the preaching of the gospel and social dalam konteks misi di Injil, kerap menyentuh berbagai dimensi, baik secara fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual, setiap orang dengan lingkungannya. Narasi Injil banyak menunjukkan wajah keramahan sekaligus tanggung jawab sosial Yesus di ruang publik. Yesus tidak hanya berhenti pada sifat keramahan Allah dalam misi pelayanan-Nya, namun juga menginspirasi para pendengarnya untuk menghadirkan keramahan yang sama, seperti yang Yesus lakukan. Hal ini perlu menjadi refleksi potret kehidupan bergereja pada masyarakat Indonesia, yang umumnya cenderung terfokus kepada formalisme agawami. Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep misi Yesus serta merealisasikan secara praktis dalam konteks masyarakat Indonesia di masa ini. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif serta pendekatan yang hermeneutis pada narasi kitab-kitab Injil. Penelitian ini berupaya menawarkan konsep dan model pelayanan Yesus yang kontekstual kepada komunitas yang dilayani, bukan hanya sebagai objek keramahan Allah, namun sekaligus sebagai subjek yang aktif berpartisipasi menghadirkan keramahan pada ruang publik. Kesimpulannya, jelas terlihat bahwa misi yang dimaksudkan Yesus untuk diteruskan oleh gereja adalah misi Allah yang telah dikerjakan Yesus sendiri selama pelayanan-Nya di dunia, yaitu memanifestasikan keramahan Allah bagi manusia melalui pemberitaan Injil dan kepedulian Hasiholan TampubolonChurches needs to consider how to do mission in the era of global capitalism. The negative impact of the current global capitalism epoch is created by economic and political gaps. Massive destruction of nature is also an impact of global capitalism. The topic will be elaborated through a literature research. The church faces a dif-ferent type of global reality in each age; however, it can learn from Jesus ministry. Jesus’ ministry showed concern for the poor, the marginalized and the helpless. Jesus is not someone who does not care about economic and political issues. The ministry carried out also has relevance to the individual and structural life. There is no structural change without individual changes and vice versa. The church also needs to build a collective network to strive for a better life. Keywords mission; global capitalism; ministry; Petrus SiagianRicu SeleThe term "Marpasar" is a place of mention in the Batak language which is determined as a person who earns a living by lending money. Marpasar becomes pros and cons for some members of the congregation and also clergy is based on theological and non-theological reasons. The theological reason is that in the Old Testament there was a prohibition about lending money. While non-theological reasons, the image of Marpasar perpetrators as loan sharks or extortionists have been formed in the public view due to high-interest rates. This article focuses on discussing Marpasar and how exactly the meaning of the Bible verse about the interest of money. The method used by researchers is a qualitative descriptive approach to exposition, interviews and literature. The results of the discussion obtained an answer that the context of the verses used is used by contra parties differing in context, a culture of geography in the present, and not all actors in Marpasar peg the interest that leads to extortion. Istilah kata Marpasar adalah suatu penyebutan dalam bahasa Batak yang didefinisikan sebagai orang yangmencari nafkah dengan cara membungakan uang. Marpasar menjadi pro kontra bagi sebagain kalangan jemaat dan juga rohaniawan didasarkan pada alasan teologis dan non teologis. Adapun alasan teologis karena dalam Perjanjian Lama adanya larangan tentang membungakan uang. Sementara alasan non-teologis, citra pelaku Marpasar sebagai lintah darat atau pemeras sudah terbentuk di pandangan umum karena bunga yang dipatok tinggi. Artikel ini berfokus membahas tentang Marpasar serta bagaimana sebenarnya maksud dari ayat Alkitab tentang membungakan uang. Adapun metode yang digunakan peneliti adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan eksposisi, wawancara serta literatur. Hasil dari pembahasan didapatkan sutau jawaban bahwa konteks ayat-ayat yang digunakan digunakan oleh pihak yang kontra berbeda secara konteks, zaman, budaya serta kultur geografi di masa kini, serta tidak semua pelaku Marpasar mematok bunga yang mengarah pada pemerasan. John Hall ElliottThis article explores a presentation of the method, emergence and contribution of social-scientific criticism SSC as an inter-disciplinary operation of New Testament exegesis. A description of ancient evil eye belief and practice and its appearance in Paul's letter to the Galatians illustrates how the method contributes to a more accurate translation of the biblical text, a clarification of its logic and a fuller understanding of the social dynamics involving Paul and his WassenJesus' attitude towards purity practices is a hotly debated issue. The majority of scholars argue that Jesus challenged purity halakhah in some way. One of the proofs cited to support the position that Jesus allegedly disregarded purity laws is that he ate with "tax collectors and sinners." Whereas purity concerns are not explicit on the story level in the texts, many scholars still find Jesus' actions contradictory to the norms. This paper discusses if purity plays a part, and if so how, in Jesus' sharing meals with people considered sinners. As I will show, purity concerns only play a minor role in Jesus' meal practice and there is nothing in his behaviour that indicates that he somehow challenged purity norms, only social C. HansonBuilding on the earlier studies of ancient fishing by Rostovtzeff and Wuellner, this article examines fishing as a sub-system within the political economy and the domestic economy of first-century Galilee. I employ a model of embedded economics to articulate the relationships between the various players in the sub-system the Roman emperors; Herod Antipas; the tax administrators; the brokers, tax collectors, and toll collectors; the fishing families; the hired laborers; the suppliers of raw goods and other products; fish processors; and shippers and carters. This model is developed in order to provide a more focussed frame of reference for the interpretation of the Jesus tradition metaphors and narratives and the location of Jesus' activity and network recruitment in Galilean fishing L. RohrbaughThere have been many attempts to characterize the Marcan audience in recent years, though most of these have concentrated on various ethnic, geographical, or religious aspects of the group's identity. By contrast, the interest here is in understanding the social location of those for whom Mark wrote. Assuming recent work which places Mark in rural Syria-Palestine, the article first addresses the crucial issues of social stratification and literacy in the rural areas. It then seeks to locate the characters in Mark's story on a social map using a model drawn from macro-sociological studies of agrarian societies. Finally, it suggests ways in which the readers/hearers would see in the drama being played out by the characters in Mark's story a mirror of their own lives. The conclusion is that Mark's story had a special plausibility for peasants, the degraded, the unclean, and expendables. Mark SneedIn 1979, Cyril Rodd, biblical scholar, predicted the end of social scientific criticism of the Old Testament because its theories cannot be tested. He was wrong. It is currently thriving. It is interdisciplinary either a biblical scholar who does research in the social sciences who then applies this to the Bible or a social scientist who does research on a biblical text and then applies it to the Bible. Social scientific approaches help fill in gaps that other ways of interpreting the Bible leave behind. For example, have you ever wondered why Cain was not punished with death for killing his brother? The Old Testament commands the death penalty for any murderer. Traditional interpretation emphasizes God's grace because he repented. But an anthropological perspective explains it as due to the fact that Cain was Abel's brother, his kin, and his death would have ended the family line of Adam and Eve. In less developed countries, kinship is very important, and some form of punishments like the death penalty would do more harm than good. Other forms of punishment might include payment, exile, and Calvert'Internal colonisation' is a poorly defined term, but no other phrase so accurately captures the full nature of the complex interactions involved. Here the term 'internal colonisation' is used in a broad but quite specific sense, to designate the process by which, on the pretext of 'development', large parts of many Southern states are still in effect being colonised by their own ruling elite. The process parallels in all important respects external colonisation and is in essence the same process, differentiated only by its geographical location. Just as towns formed a key link in colonisation, the use of political power to bring about enclosure and encourage the growth of settlements gives the elite the ability to develop both town and countryside. The urbanisation of the countryside and the expansion of towns are therefore each special cases of the desire to control land and use its capacity to generate wealth. The accelerated growth of urban settlements in the South has, however, serious implications for the environment. Thus the concept of internal colonisation helps explain the distinctive nature of environmental politics in the South. PerkembanganKehidupan Politik Ekonomi Pada Masa Demokrasi Terpimpin Jurnal Online Blogger . Latar belakang sosial ekonomi israel pada masa sebelum dan sesudah abad ke-8 sm sembunyikan teks Walaupun peredaksian terakhir kitab Amsal berlaku pada sekitar abad ke-5 hingga ke-3 SM materi pendidikan pada kitab ini ada yang berasal dari masa sebelum Kerajaan abad ke-13 SM tetapi penulisan
YERUSALEM, — Yerusalem salah satu kota tertua di dunia dan paling diperebutkan sejak ribuan tahun. Yerusalem adalah kota suci bagi tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam. Berikut 10 fakta singkat tentang Yerusalem. 1. Yerusalem, kotanya Nabi DaudKitab Perjanjian Lama menyebut, Raja Daud dari dua kerajaan Judea dan Israel, merebut kota Yerusalem dari tangan bangsa Jebusit pada tahun SM. Daud menjadikan kota itu sebagai pusat kerajaan dan keagamaan. Kemudian, Raja Sulaiman, putra Raja Daud, membangun kenisah Yahweh pertama di sini sekaligus menjadikan kota itu menjadi pusat agama Yahudi. Baca juga Pernyataan Konsultasi dengan Indonesia Terkait Yerusalem Ternyata Salah Terjemahan 2. Diperebutkan Babilonia dan Persia Raja Babilonia Nebuchadnezzar II dua kali merebut Yerusalem pada 597 dan 586 SM. Ia memenjarakan Raja Jehoiakim dan kaum elite Yahudi lalu menghancurkan kenisah mereka. Perjanjian Lama menyebutkan, Raja Sirius Agung dari Persia menumbangkan Babilonia pada 540 SM dan membebaskan kaum Yahudi serta membangun kembali kuil mereka di Yerusalem. 3. Pendudukan Romawi dan Bizantium Yerusalem berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi sejak 63 M. Perlawanan bangsa Yahudi mencetuskan perang pada 66 M, yang dimenangkan Romawi. Kuil mereka di Yerusalem kembali mengalami aksi penghancuran. Romawi dan Bizantium menguasai Palestina selama 600 juga Mengenal Yerusalem, Kota Suci Tiga Agama 4. Masa pendudukan Muslim Di bawah pimpinan Kalifah Umar, tentara Muslim mengepung dan menguasai Yerusalem pada 637 M. Di era pendudukan Muslim inilah, penguasa yang saling bermusuhan dan dari berbagai mazhab Islam silih berganti menguasai Yerusalem. Baca juga Protes Pengakuan Yerusalem, Puluhan Warga Palestina Terluka 5. Perang Salib Kekalifahan Seljuk sejak 1070 M terus meluaskan kekuasaan. Akibatnya, kaum Kristen merasa terancam yang memicu Paus Urban II mencanangkan Perang Salib. Dalam 200 tahun selanjutnya terjadi lima kali perang memperebutkan Yerusalem. Pada 1244 pasukan Kristen kalah total dari tentara Muslim yang kembali menguasai Kekaisaran Ottoman dan pendudukan Inggris Setelah menaklukkan Mesir dan Arabia, Kekaisaran Ottoman memasukkan Yerusalem ke dalam wilayah hukumnya pada 1535 dan kota ini kembali mencapai kejayaannya. Namun, pada 1917 Inggris mengalahkan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I. Palestina kemudian diduduki Inggris dan Yerusalem jatuh tanpa perlawanan. Foto arsip yang diambil pada 11 Januari 2010 menunjukkan pemandangan udara Kota Tua Yerusalem. AFP/Marina Passos7. Kota yang terbelah Setelah Perang Dunia II usai, Inggris mengembalikan mandat Palestina kepada PBB, yang kemudian memilih opsi membaginya dua negara itu. Tujuan pembagian itu adalah untuk menciptakan negara bagi kaum Yahudi yang selamat dari Holocaust di Eropa. Baca juga Israel Tempatkan Polisi di Yerusalem Sejumlah negara Arab kemudian bergabung memerangi Israel dan menguasai sebagian Yerusalem. Sejak 1967 kota ini terbelah menjadi wilayah Israel di sisi barat dan Yordania di sebelah timur. 8. Israel kuasai Yerusalem TimurDalam perang enam hari 1967, Israel mengalahkan aliansi Mesir, Yordania dan Suriah. Alhasil, Israel menguasai Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat Yordan, Dataran Tinggi Golan dan bagian timur Yerusalem. Untuk pertama kali sejak 1949, Israel kembali menguasai Tembok Ratapan di kota tua Yerusalem. Secara sepihak Israel menyebut tidak menganeksasi Yerusalem timur, melainkan mengintegrasikan kota itu ke dalam wilayah administratifnya. 9. Umat Muslim bisa berziarah ke Yerusalem Israel tidak menutup akses umat Muslim ke tempat suci mereka. Bukit Shakrah berada di bawah admistrasi otonomi Muslim. Umat Islam juga diperbolehkan berziarah ke Bukit Zaitun, Kubah Shakrah, dan Masjid Al Aqsa serta beribadah di sana. 10. Sengketa status Yerusalem berlanjut Yerusalem hingga hari ini tetap menjadi hambatan terbesar dalam proses perdamaian antara Israel dan Palestina. Baca juga 28 Negara Uni Eropa Peringatkan Trump Tak Pindah Kedutaan AS ke Yerusalem Pada 1980, Israel mendeklarasikan, seluruh kota Yerusalem sebagai bagian tak terpisahkan dari ibu kota negeri itu. Sementara pada 1988 negara Palestina diproklamasikan dan juga mengklaim bahwa Yerusalem adalah ibu kota. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
cbSRu2.
  • tfz5gylnec.pages.dev/452
  • tfz5gylnec.pages.dev/267
  • tfz5gylnec.pages.dev/88
  • tfz5gylnec.pages.dev/471
  • tfz5gylnec.pages.dev/86
  • tfz5gylnec.pages.dev/458
  • tfz5gylnec.pages.dev/242
  • tfz5gylnec.pages.dev/109
  • situasi sosial bangsa israel pada zaman yesus